REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tak mempermasalahkan memorialisasi terhadap kasus pelanggaran HAM berat (PHB) di Indonesia. Komnas HAM memandang memorialisasi bertujuan mencegah keberulangan.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan memorialisasi sebagai bentuk pemulihan kolektif dan simbolik. Ini merupakan respons Komnas HAM atas penghancuran situs sejarah Rumoh Geudong di Aceh yang termasuk salah satu lokasi peristiwa PHB. Pemerintah berdalih akan membangun Living Park di lokasi tersebut.
"Bertujuan untuk memberikan ruang bagi korban untuk menjelaskan masa lalu serta mengajak masyarakat untuk mengenang pengalaman masa lalu sebagai upaya untuk mencegah keberulangan," kata Atnike.
Atnike menyebut memorialisasi dapat mengambil bentuk pendirian monumen, pendirian museum, penetapan hari besar peringatan peristiwa pelanggaran HAM yang berat, dan bentuk lain. Ia menekankan memorialisasi harus sesuai dengan konteks sosial masyarakat di mana memorialisasi dilaksanakan.
"Prinsip kehati-hatian perlu diperhatikan dalam pendirian memorialisasi yang menggunakan tempat-tempat yang terkait dengan peristiwa pelanggaran HAM yang berat agar tidak menimbulkan polemik yang kontra produktif terhadap upaya-upaya non yudisial maupun yudisial," ucap Atnike.
Sehingga Atnike berpesan supaya memorialisasi disiapkan secara matang. Atnike menyarankan pembentukkan memorialisasi wajib melibatkan para korbannya.
Di sisi lain, Atnike mengapresiasi pernyataan Presiden Jokowi dan Menkopolhukam Mahfud MD yang kembali menegaskan mekanisme non yudisial tidak dilakukan untuk menggantikan mekanisme yudisial. Oleh sebab itu, Atnike meminta pemerintah untuk memberikan dukungan terhadap penguatan mekanisme yudisial.
"Komnas HAM mengapresiasi adanya langkah-langkah konkret yang dilakukan terhadap 12 kasus pelanggaran HAM yang berat, namun tetap mengingatkan bahwa ada sejumlah kasus pelanggaran HAM yang berat yang telah diselidiki Komnas HAM yang korbannya belum mendapatkan hak-haknya, di antaranya Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura, dan Bener Gajah Timang Meriah," ucap Atnike.
Diketahui, Pemerintah baru saja peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat di Indonesia yang diresmikan Presiden Joko Widodo di Rumoh Geudong Bilie Aron, Kabupaten Pidie, Aceh.
Tercatat, sedikitnya ada 13 kasus yang ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM. Yaitu Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, Peristiwa Rumah Geudong 1989-1998, dan Kasus Paniai 2014.