REPUBLIKA.CO.ID, BALTIMORE -- Tiga tragedi penembakan massal di tempat terpisah, Philadelphia, Baltimore dan Fort Worth, Texas, menewaskan 10 orang dan melukai hampir 40 orang lainnya menjelang hari libur Kemerdekaan AS pada 4 Juli. Pejabat keamanan setempat mengatakan tragedi ini menjadi pengingat yang suram, kegagalan selama beberapa dekade menghentikan kekerasan senjata api di Amerika Serikat.
"Di Fort Worth, tiga orang tewas dan delapan lainnya luka-luka dalam sebuah penembakan massal setelah sebuah festival lokal untuk memperingati Hari Kemerdekaan AS," kata polisi pada Selasa (4/6/2023).
Dalam insiden penembakan massal terpisah di Philadelphia pada Senin malam, lima orang tewas dan dua lainnya luka-luka. Termasuk seorang anak laki-laki berusia 2 tahun dan anak laki-laki berusia 13 tahun yang keduanya ditembak di bagian kaki.
Mereka ditembak oleh seorang tersangka yang mengenakan pelindung tubuh dan bersenjatakan AR-15. Ia kemudian melepaskan tembakan ke arah orang yang tidak dikenalnya, menurut polisi setempat.
Penembakan pada Senin malam itu terjadi sehari setelah dua orang ditembak hingga mati dan 28 lainnya terluka. Sekitar setengah dari mereka yang menjadi korban tewas dan luka adalah anak-anak, mereka dihujani tembakan di sebuah pesta di luar ruangan di Baltimore.
Motif dari ketiga penembakan baru-baru ini masih belum jelas. Presiden AS Joe Biden mengutuk kekerasan tersebut dan memperbaharui seruannya untuk memperketat undang-undang kepemilikan senjata api di Amerika.
"Bangsa kita sekali lagi mengalami gelombang penembakan yang tragis dan tidak masuk akal," kata presiden dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Selasa. Biden meminta anggota parlemen dari Partai Republik untuk datang ke meja perundingan untuk melakukan reformasi yang berarti dan masuk akal."
Dengan mengutip perlindungan konstitusional untuk kepemilikan senjata api, Partai Republik di Kongres memblokir upaya untuk secara signifikan mereformasi undang-undang keamanan kepemilikan senjata api. Mereka juga menentang keinginan Biden melarang kepemilikan api dengan senjata serbu.
Para pejabat Philadelphia memohon kepada para anggota parlemen negara bagian dan federal untuk bertindak membatasi kepemilikan senjata api ini. "Kami memohon kepada Kongres untuk melindungi nyawa dan melakukan sesuatu terhadap masalah senjata api di Amerika," ujar Walikota Philadelphia Jim Kenney dalam sebuah konferensi pers.
Jaksa wilayah kota, Larry Krasner, meminta anggota parlemen negara bagian Philadelphia untuk legislasi yang masuk akal seperti yang ditemukan di negara bagian tetangga, New Jersey dan Delaware.
"Beberapa dari undang-undang itu mungkin bisa membuat perbedaan di sini," kata Krasner pada pengarahan yang sama.
Polisi Philadelphia mengatakan bahwa tersangka adalah seorang pria berusia 40 tahun yang memiliki senapan semi-otomatis AR-15 dan pistol 9 mm yang mengenakan pelindung tubuh dan masker ski. Korban tewas berusia antara 15 hingga 59 tahun.
Komisaris Polisi Philadelphia Danielle Outlaw mengatakan kepada wartawan bahwa penembak bertindak secara sadar dan sengaja, dan Krasner bersumpah untuk mengajukan beberapa dakwaan pembunuhan dan pelanggaran lainnya pada sidang pertama penembak pada Rabu (5/7/2023).
Polisi di Fort Worth mengatakan tidak ada penangkapan yang dilakukan dalam penembakan tersebut. "Kami tidak tahu apakah ini terkait dengan masalah rumah tangga, atau terkait dengan geng. Masih terlalu dini untuk mengatakannya pada saat ini," kata Shawn Murray, seorang pejabat senior kepolisian.
Sementara itu di Baltimore, polisi mengatakan bahwa mereka sedang mencari beberapa tersangka. Penembakan terakhir terjadi sekitar peringatan penembakan massal di Highland Park tahun lalu di dekat Chicago, di mana tujuh orang tewas dan 48 lainnya terluka dalam sebuah parade Hari Kemerdekaan. Seorang pria berusia 22 tahun masih ditahan setelah didakwa dengan 117 dakwaan kejahatan atas pembantaian tersebut.
Amerika Serikat telah berjuang dengan sejumlah besar penembakan massal dan insiden kekerasan senjata api. Sejauh ini telah terjadi lebih dari 340 penembakan massal pada tahun 2023 di negara tersebut, menurut data yang dikumpulkan oleh Gun Violence Archive, yang mendefinisikan penembakan massal sebagai insiden di mana setidaknya empat orang ditembak, tidak termasuk penembak.
Dengan laju paruh pertama tahun ini, penembakan massal selama tahun kalender 2023 akan mencapai 679 atau sekitar dua kali lipat dari 336 yang tercatat pada tahun 2018. Itu akan menandai total tahunan tertinggi kedua selama sembilan tahun terakhir, hanya kalah dari 690 yang tercatat pada 2021, menurut kelompok nirlaba tersebut.