Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aniza

PPPK Vs PNS: Melihat dari Sisi Ketidaksetaraan

Edukasi | Wednesday, 05 Jul 2023, 08:18 WIB
Sumber: Google
Sumber: Google

Selamat saya ucapkan kepada teman-teman yang beberapa waktu yang lalu berbahagia setelah menerima SK PPPK! Semoga menjadi keberkahan bagi teman-teman.

Manis sekali di awal tersiar wacana pengadaan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) yang masuk dalam ketegori ASN (Aparatur Sipil Negara). Dengan wacana PPPK memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan PNS, kecuali dana penisunan, seolah memberi harapan baru bagi guru honorer yang lama mengabdi.

Disini, saya ingin mengabaikan kelebihan sebagai PPPK yaitu gaji yang lebih besar dari pada PNS golongan IIIA, ketiadaan tunjangan pensiun, dan keterbatasan masa kerja dengan adanya kontrak. Ada hal menarik yang membuat PPPK tetap berbeda dengan PNS. Sesama ASN tetapi berbeda. Ada beberapa perbedaan yang menurut saya sebagai bentuk dikriminasi terhadap keberadaan PPPK sebagai pegawai pemerintah dan sebagai manusia.

Perbedaan Pakaian Dinas

ASN PPPK memakai Pakaian Dinas Harian (PDH) berbeda dari ASN PNS. Sebagaimana tertuang dalam Permendagri No 11 Tahun 2020 tentang Pakaian Dinas ASN di Lingkungan Kementrian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, BAB IV pakaian dinas Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja pasal 13, berbunyi:

1. PDH PPPK digunakan oleh unit kerja di lingkungan kementrian dalam negeri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

2. PDH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:

a. PDH Kemeja putih, celana/rok hitam; dan

b. PDH batik/tenun/lurik atau pakaian khas daerah

c. PDH Kemeja putih dan celana/rok hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a digunakan PPPK pada hari senin samapai dengan rabu.

Yang terjadi dilapangan adalah perbedaan implementasi peraturan pada lingkup pemerintah daerah dan atau pemerintah provinsi dimana saya melihat beberapa kabupaten dan pemprov menerapkan peraturan penggunaan pakaian Khaki untuk PPPK. Saya paham bahwa ada desentralisasi kewenangan dimana pemerintah daerah dapat membuat kebijakan sendiri. Sayangnya perbedaan penerapan aturan Kemendagri menimbulkan kecemburuan terutama bagi guru-guru sekolah.

Benar-benar tidak enak dilihat ketika sesama guru memakai seragam berbeda. Bukankah hal tersebut menimbulkan kesenjangan antarguru dan dapat menjadi pertanyaan bagi siswa, “loh kok bapak/ibu guru memakai pakaian beda-beda?”. Dari segi kemanusiaan pun, diferensiasi tersebut mempertontonkan diskriminasi nyata terhadap PPPK, yang mana ada daerah yang memberikan izin penggunaan pakaian PNS dan PPPK, sama, sementara ada daerah yang kekeh dengan aturan Permendagri. Toh, Pemda ataupun Pemprov yang mengizinkan penggunaan seragam PPPK dan PNS yang sama, tidak diberikan sanksi apapun. Berarti, pada akhirnya peraturan Kemendagri dilaksanakan tergantung dari political will dari pemerintah setempat. Apabila pemerintah daerah ingin menyamakan penggunaan PDH pun, tidak ada masalah, bukan?

Hak Cuti

Hak Cuti PNS diatur dalam Peraturan BKN No. 24 Tahun 2017 tentang tata cara pemberian cuti PNS. Terdapat beberapa jenis cuti yang bisa digunakan oleh PNS, antara lain: cuti tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti melahirkan, cuti karena alasan penting, cuti bersama, dan cuti di luar tanggungan negara. Sementara hak cuti bagi PPPK hanya cuti tahunan, cuti sakit, cuti melahirkan, dan cuti bersama, sebagaimana tertuang dalam PP No 49 tahun 2018 tentang manajemen PPPK Bab XI pasal 77. Perbedaan hak cuti lebih lanjut dijabarkankan dalam Peraturan BKN No. 7 Tahun 2021 terkait pembaharuan hak cuti tahunan, hak cuti karena alasan penting, hak cuti sakit yang lebih longgar dari pada PPPK.

Membedakan hak cuti antara PNS dan PPPK sebenarnya sangat logis karena dari segi status kepegawaian pun berbeda, terlebih sistem kontrak yang mengikat PPPK. Namun, apakah ketika membuat peraturan tersebut tidak berorientasi untuk memanusiakan manusia. Contoh, PPPK tidak dapat mengajukan cuti untuk haji, padahal PPPK beragama islam pasti ada keinginan untuk menunaikan ibadah haji, sementara tidak cukup jika mengambil dari cuti tahunan. Bahkan yang saya perhatikan di lapangan, aturan tentang jam kerja guru ketika siswa libur, berbeda. Terdapat daerah yang memberikan libur kepada gurun-gurunya, ada juga yang sebaliknya dan harus mengambil cuti tahunan untuk dapat llibur pada masa liburan siswa. Bahkan ada daerah yang menerapkan libur kepada guru, tetapi membedakan PNS dan PPPK dimana PPPK tidak bisa mengambil jatah libur pada masa liburan sekolah siswa. Untuk PPPK sebenarnya jelas memang tidak ada hak liburan dari segi payung hukum apapun. Hanya saja, perbedaan peraturan yang dibuat menunjukkan diskriminasi yang nyata terhadap PPPK dengan jabatan yang sama, khususnya guru.

PP No. 11 tahun 2017 tentang management PNS pasal 315 berbunyi PNS yang menduduki jabatan guru pada sekolah dan jabatan dosen pada perguruan tinggi yang mendapat liburan menurut peraturan perundang-undangan, disamakan dengan PNS yang telah menggunakan hak cuti tahunan. Kemudian dalam PP No. 17 Tahun 2020 yang baru, diubah menjadi PNS yang menduduki jabatan guru pada sekolah dan jabatan dosen pada perguruan tinggi yang mendapat liburan, menurut peraturan perundang-undangan berhak mendapatkan cuti tahunan. Jadi, jelas disini bahwa sebenarnya PNS memiliki hak libur tanpa memotong cuti tahunan. Sayangnya, pemahaman pemerintah daerah terhadap aturan tersebut berbeda-beda sehingga implementasi di lapangan menimbulkan kecemburuan.

Hak Pengembangan Diri

Pengembangan diri bagi pegawai pemerintah menjadi hal penting, terlebih bagi guru. Alih-alih mendapat angin segar menjadi ASN PPPK, ternyata pengembangan diri PPPK dibatasi paling lama 24 JP dalam 1 tahun masa perjanjian kerja, sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang manajemen PPPK BAB VI pasal 40 ayat 1. Sementara itu, PNS mendapat hak pengembangan diri minimal 20 JP dalam satu tahun tanpa maksimal JP, berarti ada keleluasaan bagi untuk PNS mengembangkan diri.

Aturan ini saya sadari ketika saya terganjal izin dari BKPSDM untuk mengikuti course/diklat di Singapore selama 3 minggu. Beruntungnya saya mendapatkan beasiswa dari SEAMEO RELC Singapore tentang Specialist Certificate in Technology for Language Teaching. Bahkan surat permohonan izin dari Balai Kerjasama Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek (BKHM) tidak dapat membuat BKPSDM memberikan izin. Mengapa melibatkan Kemendikbudristek karena beasiswa tersebut saya dapatkan melalui perantara Kemendikbudristek.

Saya sudah berupaya benegosiasi dengan dinas pendidikan dan BKPSDM untuk mencari celah agar tetapi bisa mendapatkan kesempatan tersebut. Tetapi karena PP tersebut dan tidak ada literatur yang dapat melawan PP tersebut (kecuali UU atau minimal surat edaran), saya sudah di tahap hampir menyerah untuk mencari celah.

Naif sekali kalau saya tidak berharap ada celah bagi BPKSDM untuk memberikan izin kepada saya. Sebuah kesempatan langka bagi guru daerah bisa mengikuti diklat di luar negeri melalui beasiswa. Bahkan tidak semua guru mendapat kesempatan hanya untuk sekedar mendaftar. Bukankah sebenarnya Pemerintah Daerah tidak rugi jika mengabaikan PP No 49 tahun 2018 pasal 40 ayat 1 tersebut, dimana guru yang potensial ini bisa menjadi pioneer untuk kemajuan pendidikan di daerahnya? Mengabaikan sebuah peraturan untuk kebermanfaatan yang lebih luas.

Apabila pemerintah daerah kekeh dengan PP no 49 tahun 2018 tersebut terkait hak pengembangan diri PPPK, berarti aturan tersebut sebenarnya memberatkan guru mengikuti program Guru Penggerak yang memakan waktu jelas lebih dari 24 JP dan diklat-diklat lain yang diselenggarakan oleh Kemendikbudristek karena PP tersebut tidak membatasi pada kegiatan Luring ataupun Daring. Bahkan diklat-diklat lain yang bisa diakses melalui Portal Layanan Program GTK melalui SIM PKB yang rata-rata 32 JP.

Apabila terdapat kesalahan dalam saya memberikan data, mohon untuk dikoreksi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image