Rabu 05 Jul 2023 11:23 WIB

Muslim AS Terus Dipantau FBI

Sejak peristiwa 9/11, umat Islam di AS terus dipandang sebagai ancaman.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Muslim di Amerika Serikat (AS).
Foto: Anadolu Agency
Ilustrasi Muslim di Amerika Serikat (AS).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Hasil laporan pemantauan Biro Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa Muslim telah terdaftar dan dipantau selama bertahun-tahun. Pemantauan ini dilakukan sejak pemerintahan mantan presiden George W Bush hingga Joe Biden saat ini.

Laporan yang dikutip dari Anadolu Agency itu mengacu pada daftar pantauan FBI versi 2019 yang dipublikasikan oleh seorang peretas Swiss pada 13 Juni. "Kami telah mengetahui selama bertahun-tahun bahwa umat Islam sedang diawasi. Namun melihat daftar ini secara langsung benar-benar mengejutkan," kata pengacara senior di Council on American-Islamic Relations (CAIR) Gadeir Abbas.

Baca Juga

"AS terus memata-matai komunitas Muslim melalui pelacakan elektronik dan individu yang ditempatkan di komunitas Islam," kata Abbas dikutip dari Middle East Monitor.

Abbas mencatat, bahwa Muslim AS hidup damai sampai peristwa 9/11. Setelah itu, umat Islam terus dipandang sebagai ancaman dan menjadi sasaran pengawasan yang berlanjut selama kepresidenan Bush, Barack Obama, Donald Trump, hingga pemerintahan Biden saat ini.

Badan keamanan dan intelijen AS dinilai menyimpan daftar rahasia. "Mereka tahu Muslim sedang diprofilkan, tetapi mereka tidak dapat meminta pertanggungjawaban pemerintah secara hukum sampai laporan itu keluar," ujar Abbas.

Ada sekitar 2.500 masjid di AS. Abbas mengklaim bahwa Muslim diawasi di sana dan ribuan orang direkrut untuk kegiatan intelijen.

Abbas menunjukkan dalam laporan berjudul "Twenty Years Is Too Much, Call to Stop the FBI's Watch List" yang disiapkan oleh CAIR bahwa, hanya nama "Muhammad" dan "Ali" yang disebutkan lebih dari 350 ribu kali dalam database FBI dengan pengucapan yang berbeda.

Praktik pengarsipan FBI berdampak pada kehidupan sehari-hari umat Islam karena laporan tersebut dibagikan ke lebih dari 60 negara, perusahaan swasta, rumah sakit, dan universitas. Laporan itu yang mengakibatkan pembatasan bagi umat Islam yang dianggap sebagai "calon teroris" dalam berbagai konteks.

"Metode yang digunakan terhadap umat Islam tidak berbeda dengan 'witch hunt', dan tidak ada jaminan bahwa hal ini tidak akan dilakukan terhadap orang lain di masa depan," ujar Abbas.

Abbas menyatakan, AS pada akhirnya akan menargetkan kelompok lain sebagai ancaman yang mengarah pada penggunaan daftar rahasia. "Sangat penting bagi setiap orang untuk mengutuk dan menentang sentimen anti-Muslim," katanya.

Selain itu, Abbas memperhatikan bahwa tidak ada dasar hukum untuk membuat profil dari kelompok Muslim. Pengawasan pemerintah dinilai sangat kurang sehingga membenarkan alasan di balik akses ke daftar rahasia yang berisi jutaan nama Muslim.

Abbas menekankan bahwa FBI telah memberikan wewenang untuk melakukan pengajuan dan tidak ada batasan hukum pada pengajuan tersebut. FBI juga memungkinkan agen untuk mendaftarkan individu dengan alasan apapun.

Orang-orang dalam daftar pantauan menghadapi berbagai tantangan. Mereka mengalami pembatasan perjalanan, masalah imigrasi, pertemuan dengan FBI, contoh kekerasan polisi, kesulitan mendapatkan izin dan lisensi, konsekuensi profesional, serta akses terbatas ke gedung pemerintah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement