REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menghimpun 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Data itu diperoleh KontraS berdasarkan monitoring dan advokasi sepanjang Juli 2022 hingga Juni 2023.
KontraS merinci peristiwa kekerasan terbanyak ialah penembakan dengan 440 kasus. Disusul 58 kasus penganiayaan, 41 kasus pembubaran paksa dan 46 kasus penangkapan sewenang-wenang, 13 kasus penggunaan gas air mata, dan kasus lainnya.
Pelaku atas peristiwa kekerasan itu didominasi polisi dari Satuan Reserse Kriminal yaitu 426 peristiwa kekerasan. Adapun 144 kasus tak bisa dikonfirmasi secara spesifik pelaku berasal dari bagian kepolisian mana.
"Ironis bahwa anggota Polri yang seharusnya memberi rasa aman kepada masyarakat justru menjadi pelaku kekerasan kepada masyarakat sipil," kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam keterangannya pada Rabu (5/7/2023).
KontraS juga mendokumentasikan 29 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 41 orang sepanjang periode yang sama. Kasus-kasus extrajudicial killing tersebut mayoritas diakibatkan oleh penembakan.
"Terlihat bahwa kewenangan anggota Polri untuk menggunakan senjata api masih menjadi penyebab terampasnya hak hidup," ujar Fatia.
Selain peristiwa extrajudicial killing, kasus salah tangkap yang disertai dengan penyiksaan masih terjadi selama satu tahun belakangan. Padahal hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa merupakan bagian dari hak fundamental yang tidak dapat dikurangi atau non-derogable rights.
"Peristiwa extrajudicial killing serta penyiksaan yang terjadi menunjukkan bahwa anggota Polri masih menjadi aktor yang berperan dalam pelanggaran hak fundamental warga negara," ujar Fatia.
Selain itu, berbagai peristiwa represi terhadap kebebasan sipil masih terjadi sepanjang Juli 2022-Juni 2022. Setidaknya 52 kasus kekerasan terhadap aksi demonstrasi oleh kepolisian. 52 kekerasan terhadap massa aksi tersebut menyebabkan 126 orang luka-luka dan 207 orang ditangkap. Represi terhadap kebebasan sipil bahkan dialami oleh warga yang mempertahankan ruang hidupnya dari eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam oleh korporasi.
"Alih-alih bertindak untuk menjaga ketertiban dan keamanan warga, anggota Polri justru menjadi alat untuk membungkam warga yang sedang mempertahankan ruang hidupnya," kata Fatia.
Atas dasar itulah, KontraS menegaskan berbagai data tersebut menunjukkan kewenangan besar yang dimiliki Polri justru kerap disalahgunakan untuk melakukan kekerasan. Padahal kewenangan itu semestinya digunakan untuk penegakan hukum serta pemeliharaan ketertiban dan keamanan.
"Momen HUT Bhayangkara yang ke-77 seharusnya menyadarkan Polri, bahwa sebagai institusi masih banyak hal yang perlu dibenahi dan dievaluasi," ucap Fatia.
KontraS jmengingatkan masyarakat sipil merindukan institusi Kepolisian yang demokratis.
"Perbaikan yang konkrit dan komprehensif tidak boleh ditunda dan harus dilaksanakan segera, fungsi penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban dan keamanan serta pelayanan masyarakat harus bertransformasi ke arah yang lebih baik dan sesuai dengan standar-standar HAM," ucap Fatia.
Diketahui, bertepatan dengan momen Hari Bhayangkara ke 77 yang diperingati pada 1 Juli 2023, KontraS kembali meluncurkan Laporan Hari Bhayangkara guna memberikan catatan berupa kritik serta saran terhadap kinerja Polri pada bidang HAM.
Laporan ini menjadi bentuk partisipasi KontraS terhadap Reformasi Sektor Keamanan khususnya reformasi Polri, sesuai mandat reformasi serta untuk memberikan dorongan kepada Polri dalam melakukan perbaikan institusi sesuai dengan standar HAM dan demokrasi.