REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Pramono Ubaid Tanthowi menyebut, aktor politik mengangkat isu HAM hanya setiap lima tahun sekali alias setiap gelaran pemilu. Masalahnya lagi, mereka hanya menggunakan isu HAM untuk menyerang kandidat tertentu.
"Kita melihat isu HAM selama ini hanya digunakan untuk tujuan politik. Isu HAM itu hanya muncul 5 tahun sekali, itu juga hanya untuk katakanlah menyerang calon tertentu, misalnya. Jadi, tidak substansial sama sekali," kata Pramono dalam diskusi daring tentang pemilu ramah HAM, Rabu (5/7/2023).
Pramono tidak menjelaskan lebih lanjut siapa kandidat yang selalu diserang menggunakan isu HAM. Meski begitu, diketahui secara luas bahwa setiap gelaran pemilihan presiden sejak 2014, sejumlah pihak selalu mengungkit keterlibatan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam kasus pelanggaran HAM 1998.
Komnas HAM, lanjut Pramono, ingin isu HAM tak hanya menjadi peluru untuk menyerang kandidat tertentu. Pihaknya ingin isu HAM, khususnya pemenuhan HAM, menjadi topik utama dalam agenda politik dan perdebatan capres-cawapres.
"Kita ingin isu HAM menjadi perbincangan masing-masing capres-cawapres, yakni bagaimana meregulasikan, menyusun, kemudian mempromosikan isu-isu misalnya kesejahteraan, perumahan, lingkungan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain kepada konstituen," kata mantan komisioner KPU itu.
Pramono menambahkan, pihaknya juga mendorong partai politik, calon anggota legislatif, dan calon anggota DPD untuk mengusung isu HAM, terutama pemenuhan HAM warga negara. Pihaknya ingin, para peserta pemilu tidak hanya menjual jargon kepada pemilih, tapi menawarkan kebijakan konkret yang bisa berdampak terhadap kehidupan masyarakat.
"Kita mendorong mereka (peserta pemilu) tidak hanya bicara jargon-jargon besar soal persatuan, kedaulatan, soal kesejahteraan, tapi menukik pada isu-isu konkret pemenuhan HAM," kata Pramono.
Selain itu, kata dia, Komnas HAM berharap KPU dan Bawaslu memastikan semua warga negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih bisa masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Terutama warga negara yang merupakan bagian dari kelompok marginal dan rentan. Mereka harus mendapatkan haknya untuk memilih.