REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Mantan perdana menteri Israel Naftali Bennett mengklaim dalam wawancara di BBC, bahwa Jenin di wilayah pendudukan Tepi Barat merupakan pusat teror. Teror yang berkembang di wilayah itu, menurutnya, usai ditinggalkan oleh Israel.
"Kami tidak banyak pilihan, faktanya kita melihat kebangkitan teror di Jenin karena Israel tidak ada di sana, kami meninggalkan Jenin 30 tahun yang lalu pada awal 90'an," ujar Bennett mengklaim area yang tidak dijaga pasukan Israel akan menjadi area teror.
Bennett menyatakan, pengungsi Palestina yang meninggalkan kamp di Jenin karena telah menjadi tempat teror. "Karena pengungsian menjadi kamp itu berubah menjadi kamp teror, sehingga kami perlu masuk dan membersihkan teror, kemudian pergi," ujar Bennett.
Tapi, penyiar BBC Anjana Gadgil menyatakan, 3.000 orang dipaksa meninggalkan Jenin, mereka takut akan kehilangan nyawanya. Bennett justru menuduh pembawa acara seakan ingin menunjukan Israel menikmati operasi di Jenin.
"Pegang janjiku, tidak ada pasukan Israel, tidak ada ibu Israel yang ingin mengirim anaknya masuk ke Jenin, kami melakukannya karena kami tidak memiliki pilihan," kata mantan perdana menteri itu.
Bennett pun mengakui kondisi di Jenin sangat kompleks dan banyak politisi yang mendesak operasi militer. Namun dia menegaskan seluruh lapisan masyarakat, baik oposisi atau koalisi, mendukung Israel melawan untuk mempertahankan kehidupannya.
"Selama yang kita butuhkan," ujar Bennett saat menanggapi jangka waktu untuk melakukan operasi di Jenin.
Saat Gadgil menanyakan kapan operasi seperti itu akan berakhir, Bennett menyatakan, itu akan terus berjalan hingga para milisi itu menerima keberadaan negara Israel. Dia kemudian meminta konfirmasi apakah penyerangan Jenin merupakan cara mengalihkan pembahasan dari reformasi peradilan yang sedang diajukan oleh pemerintah hingga dakwaan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Bennett menyatakan, itu tidak berhubungan dengan politik dan berfokus pada keamanan.