REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus penularan penyakit antraks pada manusia kembali ditemukan di Gunungkidul, Yogyakarta. FAO Emergency Center for Transboundary Animal Disease (Ectad) Team Leader, Drh Farida Camallia Zenal mengatakan, kasus antraks yang kini kembali muncul disebabkan oleh kurangnya kewaspadaan dan kelalaian di masyarakat, terutama setelah pandemi Covid-19.
"Setelah Covid-19 semua fokus ke Covid-19 sehingga orang cenderung melupakan penyakit-penyakit lainnya yang berpotensi ada di tempatnya. Sebelum Covid-19, Gunungkidul ini merupakan wilayah waspada antraks, maka dengan kejadian yang muncul sekarang ada sedikit kelalaian di masyarakat," ujar Farida kepada Republika, Kamis (6/7/2023).
Farida menjelaskan, selama pandemi Covid-19 edukasi mengenai penyakit antraks oleh instansi terkait kepada masyarakat cukup pasif. Gunungkidul merupakan wilayah endemik antraks.
Oleh karena itu, pemerintah setempat telah melakukan sejumlah program preventif yaitu memberikan vaksinasi untuk hewan ternak seperti sapi, kambing, dan domba. Termasuk program edukasi kepada masyarakat. Namun menurut Farida, program-program tersebut kemungkinan mandek karena masyarakat dan instansi terkait fokus pada penanganan pandemi Covid-19.
"Karena Covid-19 masyarakat jadi lalai dengan penyakit antraks yang sebelumnya ada di sana, sehingga mereka melakukan penyembelihan terhadap hewan yang sakit dan mati mendadak untuk dikonsumsi, akhirnya terjadi (penularan) antraks (kepada manusia)," kata Farida.
Farida mengatakan, FAO membantu Pemerintah Indonesia melalui koordinasi dengan pemerintah pusat maupun pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan upaya edukasi pencegahan antraks kepada masyarakat. Termasuk upaya penanggulangan di wilayah yang sudah terkena antraks.
Upaya tersebut mengacu kepada langkah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah yaitu vaksinasi atau pengecekan di wilayah endemik antraks, penggunaan antibiotik untuk hewan yang terinfeksi antraks, dan penanganan bangkai hewan yang mati mendadak.
Menurut Farida, saat ini kasus yang banyak muncul adalah penularan antraks kepada manusia. Oleh karena itu, FAO akan membantu meningkatkan edukasi kepada masyarakat terutama para peternak untuk lebih waspada dengan penyakit antraks.
"Kami mendorong masyarakat dan peternak, terutama jika ada ternak mereka yang mati mendadak segera lapor ke dinas atau instansi terkait dan dilarang menyembelih apalagi mengkonsumsi (hewan yang mati). Ini adalah salah satu upaya edukasi yang akan kami lakukan bersama dengan pemerintah di Gunungkidul, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Kesehatan," ujar Farida.
Selain itu, FAO juga akan mendukung pemerintah untuk melakukan penelusuran dan investigasi lebih lanjut terkait kemungkinan penyebaran kasus aktif antraks di daerah lainnya, sehingga bisa diambil tindakan cepat. Menurut Farida, sejauh ini Kementerian Pertanian dan Kementerian Kesehatan sudah melakukan tindakan responsif yang cukup baik sesuai dengan panduan yang berlaku sehingga pengendalian kasus antraks dapat dilakukan secara dini.
"Kami akan tetap memberikan dukungan teknis untuk masyarakat, dan membimbing tenaga kesehatan hewan untuk melakukan aksi di lapangan," ujar Farida.