REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, mengungkapkan kekhawatirannya ihwal tren transisi energi bersih secara global yang diikuti dengan langkah negara-negara di dunia menerapkan skema pajak karbon.
Meski pajak karbon pada dasarnya dilakukan untuk memacu penggunaan energi bersih dari para pelaku industri, Arifin menegaskan, negara industri yang belum mampu mengikuti tren transisi energi bersih bakal terhimpit kesulitan.
“Kami menganggap, ancaman paling besar adalah jika diterapkanya praktik carbon mechanisms global, akan ada pajak karbon yang disepakati di seluruh negara,” kata Arifin saat berbicara dalam peluncuran buku “Public Interest in Energy Sector” di Jakarta, Rabu (6/7/2023) malam.
Ia mencontohkan, kumpulan negara skandinavia kini telah menerapkan pajak karbon yang tinggi. Mau tak mau, industri yang masih ketergantungan terhadap penggunaan energi fosil dengan emisi gas rumah kaca yang besar harus membayar mahal sebagai konsekuensi.
“Apa jadinya negara kalau ketinggalan mengurangi emisinya. Industri yang menggunakan energi fosil akan kena pajak dan itu menyebabkan produk tidak kompetitif di pasar dan ujungnya bisa tutup. Kalau tutup, masalahnya kompleks,” ujar Arifin.
Karenanya, dalam merespons transisi energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT), Indonesia harus mulai beralih memanfaatkan berbagai sumber EBT yang terkandung di alam. Arifin mengatakan, Indonesia pun telah dikaruniai berbagau sumber energi bersih yang besar yang dapat digunakan untuk menekan laju emisi.
Di satu sisi, Indonesia juga mulai menerapkan teknologi carbon capture, yang digunakan untuk menangkap kembali emisi gas buang yang dilepaskan untuk dimanfaatkan kembali menjadi sumber energi.
“Kita juga punya reservoir yang kosong dari minyak dan gas, bisa dibilang kurang lebih bisa (menampung) 400 Gigaton CO2. Nah, ini sekarang sudah banyak yang berebut masuk untuk bisa mengoperasikan lapangan-lapangan ini untuk mengurangi karbon. Exxon, Chevron, BP, langsung mulai,” kata dia.
Menurut Arifin, itu juga bisa digunakan para perusahaan untuk hub perdagangan karbon yang akhirnya juga menguntungkan Indonesia. Lebih lanjut, ia menuturkan, bila harga karbon antara 60 dolar AS sampai 100 dolar AS per ton saja, Indonesia dengan potensi reservoirnya bisa mendapatkan devisa.
“Jadi misal kamu mau simpan, bayar. Jepang, Korea punya program 100 juta ton CO2 tiap tahun. Ini sedang kita kembangkan. Kalau ini bisa, kita bisa membalikan ancaman menjadi kesempatan,” katanya.