REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kematian penyanyi Coco Lee mengagetkan banyak pihak. Apalagi saat pihak keluarga menyatakan, kematian diva asal Hong Kong itu akibat bunuh diri.
Tindakan Coco Lee disinyalir merupakan imbas dari depresi yang dia idap. Psikiater dr Lahargo Kembaren SpKJ mengatakan, depresi memang berbahaya dan bisa memicu seseorang memiliki keinginan untuk bunuh diri. Jika aksi percobaan bunuh diri dilakukan, artinya depresi yang diidap sudah masuk kategori berat.
Lahargo mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa setiap 40 detik, ada satu orang yang melakukan bunuh diri. Karena itu, depresi yang bisa mencetus keinginan bunuh diri perlu diwaspadai, dengan mengetahui tanda dan gejalanya.
Pakar kesehatan jiwa dari Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor itu menjelaskan, depresi merupakan salah satu gangguan jiwa dan dikategorikan sebagai penyakit medis. Depresi merupakan gangguan yang terdapat di saraf otak.
"Penyebabnya multifaktor, ada dari faktor biologis, psikologis, dan sosial. Terdapat interaksi kompleks hingga memicu munculnya depresi," ujar Lahargo kepada Republika.co.id, Kamis (6/7/2023).
Gejala utama depresi ada tiga yang dijuluki "trias depresi". Pertama, mood memburuk seperti sedih, menangis, dan murung. Kedua, kehilangan gairah hidup. Ketiga, energi berkurang sehingga seseorang mudah lelah saat beraktivitas.
Ada pun gejala tambahan depresi antara lain gangguan pola tidur (bisa terlalu banyak tidur atau sulit tidur) serta gangguan pola makan (makan terlalu banyak atau selera makan hilang). Seseorang juga kemungkinan menganggap masa depannya suram, merasa tak berguna, dan tak berdaya.
Tanda lain yakni penurunan konsentrasi, mudah lupa, munculnya pikiran tentang kematian, serta keinginan melukai diri sendiri. "Jika semua gejala itu menetap dan berkelanjutan selama dua minggu, segera berkonsultasi dengan profesional kesehatan medis untuk diagnosis, bisa dengan psikiater, psikolog, perawat jiwa, dan konselor," kata Lahargo.
Di era teknologi yang kian modern, Lahargo menyadari banyak informasi bertebaran mengenai gejala-gejala depresi. Apabila seseorang menduga-duga dirinya mengidap depresi, hal itu boleh-boleh saja. Lahargo menyebutnya self awareness.
Artinya, orang tersebut punya kesadaran diri untuk mengidentifikasi serta memahami dirinya secara utuh. Namun, self awareness perlu dilanjutkan dengan berkonsultasi dengan ahlinya. Lahargo mengimbau agar seseorang tidak melakukan self-diagnosis.
Mengasumsikan diri mengidap depresi, sementara belum ada penegakan diagnosis dari profesional kesehatan jiwa, bisa berbahaya. Imbasnya, dapat terjadi under diagnosis (diagnosis lebih rendah dari apa yang sebenarnya dialami) atau over diagnosis (diagnosis lebih berat dari apa yang dialami). Seseorang pun bisa merasa ketakutan berlebihan. Diagnosis yang tidak sesuai berisiko berujung pada penanganan yang salah.
Untuk orang yang mengalami tanda-tanda depresi, Lahargo menyarankan untuk tidak ragu meminta bantuan. Sementara, bagi orang yang merasa ada sosok lain di sekitarnya yang menunjukkan gejala depresi, tawarkan bantuan atau saran untuk berkonsultasi dengan ahli.
"Jangan menganggap itu sebagai hal yang lebay atau berlebihan, sampai bisa dibuktikan sebaliknya. Harus berempati dan mendampingi orang-orang yang mengalami gejala gangguan jiwa, karena kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik," ujar Lahargo.