REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM -- Mayoritas warga Swedia mendukung larangan pembakaran teks-teks agama seperti Alquran atau Alkitab. Temuan tersebut berdasarkan survei baru yang dilakukan Kantar Public yang dirilis pada Kamis (6/7/2023).
Penyiaran televisi nasional Swedia SVT melaporkan, 53 persen responden menyatakan membakar kitab suci agama apa pun di depan umum harus dilarang. Sementara 34 persen menjawab tindakan itu diperbolehkan dan 13 persen ragu-ragu.
Hasil tersebut menandai peningkatan 11 persen pada mereka yang ingin melarang tindakan semacam itu pada Februari tahun ini. Saat itu Kantar mengajukan pertanyaan yang sama dalam survei untuk sebuah jaringan Televisi Swedia TV4.
Survei baru ini mucul di tengah badai protes yang dihadapi Swedia sejak mengizinkan seorang pria membakar Alquran di depan masjid Stockholm pada Idul Adha pekan lalu. Beberapa pemerintah, terutama di Asia dan Timur Tengah, secara terbuka mengutuk tindakan tersebut.
Bahkan Perdana Menteri Pakistan Shehbaz Sharif menyerukan protes nasional pada Jumat (7/7/2023). Pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus pun menyatakan kemarahan dan rasa muak dengan pembakaran Alquran. Sedangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diharapkan segera bertemu untuk membahas insiden tersebut.
Kepala opini di Kantar Public Toivo Sjoren menyatakan, reaksi global itu mungkin telah memengaruhi perubahan opini publik di Swedia. Pembakaran Alquran telah berkontribusi atas penahan tawaran Swedia oleh Turki untuk bergabung dengan aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pun kembali mengecam Swedia atas pembakaran minggu lalu.
“Kami akan mengajari orang-orang Barat yang arogan bahwa bukan kebebasan berekspresi untuk menghina nilai-nilai suci umat Islam,” kata Erdogan dikutip dari Aljazirah.
Meskipun mayoritas warga Swedia sekarang menentang pembakaran teks-teks agama, praktik tersebut tampaknya akan terus berlanjut. Polisi telah menolak izin untuk dua pembakaran Alquran pada 2023, tetapi Pengadilan Banding kemudian membatalkan keputusan tersebut.
Pemerintah Swedia juga mengutuk tindakan "Islamofobia" setelah Organisasi Negara Islam (OKI) menyerukan langkah-langkah untuk menghindari penodaan kitab suci umat Islam di masa depan. “Pembakaran Alquran, atau teks suci lainnya, adalah tindakan ofensif dan tidak sopan serta provokasi yang jelas. Ekspresi rasisme, xenofobia, dan intoleransi terkait tidak memiliki tempat di Swedia atau di Eropa,” kata Kementerian Luar Negeri Swedia menanggapi pembakaran terbaru.
Pada saat yang sama, Kementerian Luar Negeri Swedia menyatakan, negara itu tetap memiliki hak kebebasan berkumpul, berekspresi, dan demonstrasi yang dilindungi secara konstitusional.
Stockholm dapat memberlakukan undang-undang tentang penghasutan terhadap kelompok etnis tetapi hanya untuk membatasi yang dapat dikatakan dan lokasi pembakaran dapat terjadi. Larangan total penodaan kitab suci akan memunculkan kembali undang-undang yang dihapus pada 1970-an.
SVT mengungkapkan, sudah ada tiga permohonan baru untuk membakar kitab suci agama yang diajukan ke polisi. Salah satu permohonan yang dibuat oleh seorang perempuan berusia 50-an meminta agar diizinkan membakar Alquran di luar masjid di ibu kota, Stockholm, sesegera mungkin.
Permohonan lain yang dibuat oleh seorang pria berusia 30-an meminta dia diizinkan untuk membakar Taurat dan Alkitab di depan kedutaan Israel pada 15 Juli. Dia menulis bahwa tindakan tersebut akan menjadi tanggapan atas pembakaran Alquran pekan lalu dan pertemuan simbolis demi kebebasan berbicara.