REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Mandiri Manajemen Investasi (Mandiri Investasi) meyakini produk investasi yang mengedepankan prinsip kepedulian terhadap lingkungan, sosial dan tata Kelola yang prudent (environmental, social & governance/ESG), akan semakin diminati investor. Hal itu seiring meningkatnya kepedulian pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat terhadap upaya pengurangan emisi gas karbon, yang ditargetkan pemerintah menjadi net zero emission pada 2060.
Direktur Utama Mandiri Investasi, Aliyahdin Saugi, mengatakan dari sisi produk investasi khususnya reksadana berlabel ESG, secara industri terjadi peningkatan dana kelolaan (AUM) signifikan. Jika pada 2018, total AUM reksadana bertemakan ESG sebesar Rp 28 miliar, jumlahnya meningkat pada 2020 sebesar Rp 480 miliar dan tahun ini sudah mencapai Rp 630 miliar. Dengan rata-rata pertumbuhan sekitar Rp 100 miliar – Rp 200 miliar per tahun.
Selain itu juga peningkatan terlihat pada produk reksadana ESG yang diterbitkan. Tahun 2020, baru ada 5 produk reksadana, jumlahnya terus meningkat hingga pada semester pertama 2023 reksadana bertema ESG mencapai 21 reksadana. Meningkatnya dana kelolaan itu utamanya dipicu oleh tingkat imbal hasil/return yang lebih tinggi dibanding reksadana non ESG.
“Sebagai contoh, imbal hasil Reksadana Indeks Mandiri FTSE Indonesia ESG yang kami luncurkan tahun lalu, mencatat tingkat return hingga +7 persen, bandingkan dengan kinerja IHSG yang negatif (-5 persen) pada periode yang sama,” tutur pria yang akrab dipanggil Adi tersebut di sela Konferensi CFA Society Indonesia Ke-20 di Jakarta.
Reksadana Mandiri Indeks FTSE Indonesia ESG adalah reksadana pertama di Indonesia yang menggunakan indeks FTSE Indonesia ESG sebagai acuan. Keunggulan utama Reksadana Mandiri Indeks FTSE Indonesia ESG dibanding produk reksadana lain adalah reksadana ini memberikan return/imbal hasil investasi setara dengan kinerja Indeks FTSE Indonesia ESG yang memiliki performa sangat baik.
“Selain imbal hasil yang sangat baik relatif terhadap indeks lainnya, tidak ada risiko berupa rotasi sektor di pasar atau allocation active risk pada reksadana ini. Reksadana ini juga didesain tidak memiliki eksposure berlebih pada sektor tertentu. Terlebih indeks FTSE ESG hanya di-rebalancing satu kali dalam setahun,” tutur Adi.
Beranjak ke kinerja saham, berdasarkan data 2016-2021, indeks FTSE Indonesia ESG yang diterbitkan oleh FTSE Russell, mencatat pertumbuhan harga saham tertinggi sebesar 57,56 persen. Jauh lebih tinggi dibanding pertumbuhan indeks LQ 45 yang berisi saham-saham blue chip, sebesar 38,11 persen, dan pertumbuhan indeks IDX30 sebesar 41,49 persen.
Begitu pula, pada instrumen surat utang. Kepedulian investor terhadap aspek ESG, salah satunya tecermin pada tingginya minat terhadap obligasi berwawasan lingkungan (Green Bond) yang diterbitkan Bank Mandiri baru-baru ini. Bahkan, pada periode book building yang berakhir 4 Juni 2023, terjadi kelebihan permintaan atau oversubscribed sebesar 3,74 kali. Dengan nilai penawaran mencapai Rp 18,7 triliun dari target sebesar Rp 5 triliun.
Merespons tingginya minat pelaku usaha dan investor terhadap aspek ESG, Otoritas Jasa Keuangan/OJK selaku regulator berencana menerbitkan Peraturan OJK terkait Bursa Karbon dalam waktu dekat. Bahkan, dalam keterangan resminya OJK optimistis bursa karbon dapat beroperasi pada tahun ini juga.
Makin maraknya instrumen pasar modal yang peduli terhadap ESG, sejalan dengan keinginan para profesional di bidang investasi yang tergabung dalam CFA Society Indonesia. Ketua CFA Society Indonesia Pahala N Mansury menegaskan, organisasi nirlaba yang dipimpinnya, siap mendukung komitmen pemerintah untuk mencapai net zero emission (NZE) paling lambat pada 2060.
“Kami di CFA Indonesia berkomitmen mendukung NZE yang dicanangkan pemerintah, dengan mendorong peran aktif pelaku usaha dan publik. Kementrian BUMN juga mendorong terwujudnya peta jalan/road map untuk mendukung NZE,” ucap Wakil Menteri BUMN I ini.