Jumat 07 Jul 2023 15:59 WIB

Uranium Iran 21 Kali Lebih Banyak dari yang Diizinkan?

JCPOA mengatakan Iran melanggar komitmen nuklir karena miliki uranium lebih banyak

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Seorang inspektur Badan Energi Atom Internasional memasang peralatan pengawasan, di Fasilitas Konversi Uranium Iran, di luar kota Isfahan, Iran, 8 Agustus 2005. Iran mematikan dua kamera pengintai pengawas nuklir PBB yang memantau salah satu situs atomnya, televisi pemerintah melaporkan Rabu, 8 Juni 2022. Laporan itu tidak mengidentifikasi situs tersebut.
Foto: AP Photo/Mehdi Ghasemi, ISNA
Seorang inspektur Badan Energi Atom Internasional memasang peralatan pengawasan, di Fasilitas Konversi Uranium Iran, di luar kota Isfahan, Iran, 8 Agustus 2005. Iran mematikan dua kamera pengintai pengawas nuklir PBB yang memantau salah satu situs atomnya, televisi pemerintah melaporkan Rabu, 8 Juni 2022. Laporan itu tidak mengidentifikasi situs tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dalam pernyataan bersama, tiga negara anggota kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 atau  Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) Inggris, Prancis, dan Jerman mengatakan Iran melanggar komitmen nuklir itu selama empat tahun. Mereka menekan laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengenai pasokan uranium yang diperkaya Iran.

IAEA mengatakan, kini total persedian enriched uranium atau uranium yang diperkaya Iran 21 kali lebih banyak dari jumlah yang diizinkan JCPOA. Pada Januari lalu IAEA juga mendeteksi pengayaan uranium yang dimiliki Iran mencapai 83,7 persen, hampir ke tingkat uranium dapat dijadikan senjata, yakni 90 persen.

Baca Juga

Uranium dengan tingkat kemurnian itu dapat digunakan untuk memproduksi senjata atom. JCPOA membatasi pasokan uranium Teheran sebanyak 300 kilogram dan pengayaan 3,67 persen, cukup untuk menjadi bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Namun, setelah mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menarik AS dari kesepakatan tersebut Teheran mempercepat program nuklir dan memproduksi enriched uranium hingga kemurnian 60 persen.

Para pakar nonproliferasi mengatakan, dengan tingkat kemurnian itu Iran tidak menggunakan uranium yang sudah diperkaya untuk tujuan sipil. Iran memberi tahu IAEA "fluktuasi yang tidak disengaja" dalam tingkat pengayaan mungkin terjadi dengan memperhitungkan partikel yang diperkaya hingga 83,7 persen. Duta Besar Iran untuk PBB Amir Saeid Iravani dan Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan masalah itu telah terselesaikan.

"(Iran) juga terus membangun dan meningkatkan kapabilitas rudal balistik untuk membawa senjata nuklir," kata Prancis, Jerman, dan Inggris dalam pernyataannya, Kamis (6/7/2023).

Mereka menekan uji coba rudal pada  25 Mei yang menurut tiga negara itu dapat mengirim hulu ledak hingga 2.000 kilometer. Amerika Serikat juga mengkritik aktivitas rudal balistik Iran.

"Aktivitas rudal balistik Iran, terutama mengingat ambisi nuklir Iran dan retorika mengancamnya, merupakan ancaman abadi bagi perdamaian dan keamanan kawasan dan internasional," ujar Deputi Duta Besar AS untuk PBB  Robert Wood.

Iravani membalasnya dengan mengatakan, Iran sangat bertekad untuk menggelar aktivitas nuklir damainya termasuk pengayaan.

Negosiasi untuk mengembalikan AS ke JCPOA dan Iran mematuhi lagi persyaratan perjanjian itu gagal bulan Agustus tahun lalu. Pada Dewan Keamanan PBB, Duta Besar Uni Eropa untuk PBB Olof Skoog mengatakan Uni Eropa mengompromikan teks perjanjian "sebagai titik potensial membawa kembali JCPOA ke jalurnya."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement