REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar kedokteran hewan Universitas Airlangga (Unair) Nusdianto Triakoso menyoroti kemunculan kasus antraks pada manusia di kawasan Gunungkidul yang menewaskan tiga orang. Ia menjelaskan, antraks merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri bacillus anthracis.
"Istimewanya, bila terpapar udara, bakteri ini bisa membentuk spora yang resisten akan suhu dan bahan kimia, sehingga dapat hidup hingga puluhan tahun," kata Nusdianto, Jumat (7/7/2023).
Nusdianto melanjutkan, karena alasan itulah tubuh hewan yang teridentifikasi antraks tidak boleh dibelah, meskipun untuk tujuan pemeriksaan. Berbeda dengan daging hewan ternak yang mengalami Penyakit Kuku dan Mulut (PMK) yang masih aman dikonsumsi dengan prosedur masak tertentu.
"Hewan antraks sama sekali tidak boleh dibelah apalagi dikonsumsi. Karena bakteri ini menyerang dan merusak organ-organ dalam, terutama limpa," ujarnya.
Nusdianto menjelaskan, hewan berdarah panas dapat terinfeksi antraks melalui makanan atau minuman yang tercemar spora antraks. Penyakit ini bersifat zoonosis. Yaitu, dapat menular dari hewan ke manusia. Namun, penularan tidak terjadi dari hewan ke hewan atau manusia ke manusia.
Ia melanjutkan, terdapat tiga cara penularan antraks ke manusia, yakni melalui saluran pernapasan, pencernaan, dan juga melalui luka terbuka yang ada di kulit. Ketiganya memiliki tingkat keparahan dan gejala yang berbeda.
"Jika spora terhirup maka akan menyebabkan infeksi yang menyerang paru-paru. Sementara yang terjadi di kulit paling sering terjadi, tapi biasanya tidak menimbulkan bahaya," kata dia.
Sementara bila masuk melalui sistem pencernaan, penderita akan mengalami kerusakan organ, utamanya limpa dan peredaran darah, seperti halnya hewan ternak yang terinfeksi antraks. Untuk itulah, penyakit ini masuk kategori fatal dan menyebabkan kematian pada manusia.
"Meskipun dapat berakibat fatal pada manusia dan hewan, nyatanya penyakit ini dapat diobati oleh petugas terkait bila gejalanya ditemukan lebih awal," ujarnya.