Jumat 07 Jul 2023 18:52 WIB

Peneliti Al Zaytun dan Eks NII Ini Bongkar Paham dan Praktik Syahadat yang Berbeda 

Syahadat disalahpahami dan dipraktikkan berbeda oleh NII

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
Sukanto. Peneliti Al Zaytun dan NII mengungkapkan syahadat disalahpahami dan dipraktikkan berbeda oleh NII
Foto: Dok Istimewa
Sukanto. Peneliti Al Zaytun dan NII mengungkapkan syahadat disalahpahami dan dipraktikkan berbeda oleh NII

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Peneliti Negara Islam Indonesia (NII) dan Ma’had Al Zaytun, Sukanto mengungkapkan pemahaman yang diajarkan NII tentang lima rukun Islam, mulai dari mengucapkan syahadat, sholat, zakat, puasa,  hingga tentang haji.

Menurut Sukanto, penafsiran NII soal rukun Islam berbeda jauh dengan pemahaman umat Islam pada umumnya di Indonesia. Bahkan, menurut dia, lima rukun Islam itu dijadikan sebagai program oleh NII.

Baca Juga

“Misalnya yang dijadikan sebagai program, pertama syahadat itu menjadi binayatul aqidah (pembangunan akidah). Lalu, sholat menjadi binayatul dzorfiyah (teritorial). Terus misalnya terus zakat binayatul maliayah (dana), terus puasa binayautul masuliyah (aparat),  lalu haji menjadi Binayatul Silah wal Muasolah (pembangunan komunikasi,” kata Sukanto saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (7/7/2023).

Syahadat itu sendiri merupakan kesaksian bagi orang yang ingin masuk Islam. Namun, menurut dia, dalam penafsiran NII, syahadat itu bukan tiada Tuhan selain Allah tapi tiada negara kecuali Negara Islam. Barang siapa bernegara selain negara Islam maka akan dianggap kafir.

“Setiap jamaah NII yang ajarkan bahwa syahadat itu memang prosesi orang masuk Islam, tapi berislam bagi mereka itu bernegara terkait dengan tauhid awalnya, yaitu rububiyah, mulkiyah, dan uluhiyyah,” jelas mantan mantan aktivis NII pada 1996 sampai 2001 ini.

Sukanto menjelaskan, konsep tauhid rububiyah (hukum), mulkiyah (tempat), dan uluhiyah (umat) tersebut merupakan konsep bernegara bagi NII. 

Baca juga: Soal Rekening Al Zaytun, Kepala PPATK: Data Berkembang Terus

Menurut Sukanto, itu ditafsirkan dari Surat Ibrahim ayat 24-25 bahwa kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit.

“Itu diartikan oleh mereka kalau akarnya hukum Islam maka negaranya Islam dan umatnya pasti umat Islam,” ujar Sukanto yang selama aktif di NII ini kerap berkunjung ke Pesantren Al Zaytun, Indramayu, Jawa Barat. 

Lalu pohon yang buruk seperti apa? Menurut Sukanto, NII mengomparasikan dengan Pancasila. Dalam pemahaman NII, menurut dia, kalau akarnya Pancasila maka negaranya Pancasila dan umatnya adalah umat Pancasila sehingga, dalam konsep ini tidak ada umat Islam.

Baca juga: Ada 100 Juta Kerikil untuk Lempar Jumrah Jamaah Haji,  Kemana Perginya Seusai Dipakai? 

“Itu konsep tauhidnya NII. Jadi mengatakan bahwa kalau beragama itu ya bernegara Islam.  Berarti di luar negara Islam itu kafir. Nah dari konsep itu kemudian penafsiran syahadat menjadi bahwa saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan, nah kata Allah itu direpresentasikan sebagai negara,” jelas Sukanto.

“Jadi dalam syahadatnya, saya bersaksi bahwa tidak ada negara kecuali negara Islam dan saya Muhammad, pelaksana risalah negara-negara Islam,” katanya.

Baca juga: Jalan Hidayah Mualaf Yusuf tak Terduga, Menjatuhkan Buku Biografi Rasulullah SAW di Toko

Dia mengatakan, setiap warga NII yang bersyahadat itu menyatakan dirinya sebagai Rasul atau pembawa risalah itu. Karena itu, menurut dia, penafsiran NII tentang rukun Islam yang pertama ini sudah sangat melenceng.   

“Setiap diri orang yang bersyahadat itu menyatakan dirinya itu Rasul, pembawa risalah. Jadi penafsiran terhadap rukun Islam itu jauh karena terkait dengan doktrin utamanya,” ujar Sukanto.  

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement