REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan terbaru Bank Indonesia yang mengenakan biaya penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebesar 0,3 persen mendapat kritikan dari para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kebijakan tersebut dinilai terlalu dini bahkan bakal membuat pedagang kecil berhenti menggunakan QRIS.
Ketua Umum IUMKM Indonesia (Akumandiri) Hermawaty Setyorinny menuturkan, keberadaan QRIS amat membantu pelaku UMKM dalam bertansaksi dengan konsumen. Sebab, mereka tak perlu menyiapkan uang tunai dalam jumlah besar sekaligus mempermudah mereka menyimpan uang ke sistem perbankan tanpa biaya administrasi.
Di sisi lain, QRIS membantu pemerintah maupun Bank Indonesia untuk meningkatkan inklusi keuangan serta mempercepat transaksi nontunai yang dianggap lebih aman.
“Tapi, kalau jadinya dibebankan biaya ke pedagang, ujung-ujunganya mereka tidak mau lagi bertransaksi menggunakan QRIS. Jadi, menurut saya, ini kurang bijak diberlakukan sekarang,” kata Hermawati kepada Republika.co.id, Ahad (9/7/2023).
Bukan tanpa sebab, dia menuturkan, situasi usaha pelaku usaha mikro dan kecil masih belum pulih sepenuhnya. Sebab mereka dihadapkan pada kenaikan harga-harga yang terjadi pascapandemi Covid-19. Belum lagi, persoalan stabilitas pasokan serta penjualan yang belum normal.
Menurut Hermawati, kebijakan pengenaan biaya itu justru bertolak belakang dengan apa yang diinginkan Bank Indonesia untuk mendorong transaksi digital. Demi menghindari biaya, pedagang mudah saja untuk kembali pada transaksi konvensional. Hal itu sekaligus demi mengurangi beban karena sebagian pedagang telah dikenakan biaya retribusi daerah.
“Memang biaya QRIS kecil tapi bisa bisa berapa kali konsumen yang masuk? Kasihannya di situ. beban bertumpuk-tumpuk. Sayang banget pedagang kalau beralih lagi ke konvensional. Jadi, menurut saya ini belum bijaksana,” katanya.