Ahad 09 Jul 2023 15:05 WIB

BI Tetapkan Biaya QRIS 0,3 Persen, Pedagang Bakal Berhenti Pakai

Kondisi pelaku usaha mikro dan kecil belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Stiker QRIS untuk transaksi pembayaran yang terpasang pada salah satu kios di Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta, Senin (3/7/2023). Bank Indonesia menaikan besaran merchant discount rate (MDR) bagi usaha mikro pengguna QRIS sebesar 0,3 persen yang berlaku pada Juli 2023. Sebelumnya tarif yang berlaku adalah 0 persen dan berakhir pada Juni 2023.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Stiker QRIS untuk transaksi pembayaran yang terpasang pada salah satu kios di Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta, Senin (3/7/2023). Bank Indonesia menaikan besaran merchant discount rate (MDR) bagi usaha mikro pengguna QRIS sebesar 0,3 persen yang berlaku pada Juli 2023. Sebelumnya tarif yang berlaku adalah 0 persen dan berakhir pada Juni 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan terbaru Bank Indonesia yang mengenakan biaya penggunaan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebesar 0,3 persen mendapat kritikan dari para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kebijakan tersebut dinilai terlalu dini bahkan bakal membuat pedagang kecil berhenti menggunakan QRIS. 

Ketua Umum IUMKM Indonesia (Akumandiri) Hermawaty Setyorinny menuturkan, keberadaan QRIS amat membantu pelaku UMKM dalam bertansaksi dengan konsumen. Sebab, mereka tak perlu menyiapkan uang tunai dalam jumlah besar sekaligus mempermudah mereka menyimpan uang ke sistem perbankan tanpa biaya administrasi. 

Baca Juga

Di sisi lain, QRIS membantu pemerintah maupun Bank Indonesia untuk meningkatkan inklusi keuangan serta mempercepat transaksi nontunai yang dianggap lebih aman.

“Tapi, kalau jadinya dibebankan biaya ke pedagang, ujung-ujunganya mereka tidak mau lagi bertransaksi menggunakan QRIS. Jadi, menurut saya, ini kurang bijak diberlakukan sekarang,” kata Hermawati kepada Republika.co.id, Ahad (9/7/2023). 

Bukan tanpa sebab, dia menuturkan, situasi usaha pelaku usaha mikro dan kecil masih belum pulih sepenuhnya. Sebab mereka dihadapkan pada kenaikan harga-harga yang terjadi pascapandemi Covid-19. Belum lagi, persoalan stabilitas pasokan serta penjualan yang belum normal. 

Menurut Hermawati, kebijakan pengenaan biaya itu justru bertolak belakang dengan apa yang diinginkan Bank Indonesia untuk mendorong transaksi digital. Demi menghindari biaya, pedagang mudah saja untuk kembali pada transaksi konvensional. Hal itu sekaligus demi mengurangi beban karena sebagian pedagang telah dikenakan biaya retribusi daerah. 

“Memang biaya QRIS kecil tapi bisa bisa berapa kali konsumen yang masuk? Kasihannya di situ. beban bertumpuk-tumpuk. Sayang banget pedagang kalau beralih lagi ke konvensional. Jadi, menurut saya ini belum bijaksana,” katanya. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement