REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarahnya, bom tandan yang pertama kali digunakan secara signifikan adalah Sprengbombe Dickwandig berbobot 2 kilogram buatan Jerman, yang digunakan Luftwaffe (Angkatan Udara Jerman) pada masa Perang Dunia Kedua.
Tidak hanya oleh Nazi Jerman, pengeboman melalui udara pada Perang Dunia Kedua juga dilakukan oleh pesawat negara-negara Sekutu seperti pengeboman terhadap Dresden di Jerman (yang menewaskan lebih dari 25.000 warga di kota tersebut), serta pengeboman Tokyo yang dilakukan beberapa kali, khususnya pada 1944-1945, yang menghabisi nyawa lebih dari 100.000 warga sipil.
Bom tandan juga digunakan ketika Perang Vietnam. Salah satu penyintas Kim Phuc merasakan bagaimana sakitnya terkena bom napalm yakni salah satu jenis amunisi kluster atau bom tandan pada 1972. Kala terkena bom, Kim Phuc yang berusia 9 tahun berteriak dengan rasa ngeri karena bagian punggungnya mengalami luka bakar akibat serangan bom napalm.
Sayangnya, jumlah korban yang besar itu tidak membuat penggunaan bom tandan dihentikan, bahkan tetap terus digunakan sepanjang abad ke-20 dan terus berlanjut hingga abad ke-21 ini, termasuk dalam konflik Rusia dan Ukraina. Kedua pihak ditemukan masih menggunakan bom tandan.
Padahal, pada Perang Lebanon 2006, di mana Israel banyak menggunakan bom tandan, menjadi momentum bagi berbagai negara untuk melarang penggunaan amunisi bom tandan.
Pergerakan dari banyak negara itu akhirnya melahirkan Convention on Cluster Munitions atau Konvensi Munisi Tandan yang melarang penggunaan bom tandan. Konvensi yang diadopsi pada 30 Mei 2008 di Dublin dan mulai ditandatangani pada 3 Desember 2008 itu hingga 2023 telah diratifikasi oleh 111 negara.