REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- P2G sebut fenomena sekolah cari siswa dari rumah ke rumah terjadi dari sistem zonasi. Faktor utamanya adalah sebaran sekolah negeri yang tidak merata.
Sebagai contoh, kasus itu terjadi di Magelang, Temanggung, Solo, Sleman, Klaten, Batang, dan Pangkal Pinang. Di Batang, ada 21 SMP negeri kekurangan siswa pada PPDB 2022. Lalu Jepara, Yogyakarta, dan Semarang. Di Jepara, dalam PPDB 2023 hingga akhir Juni tercatat 12 SMP negeri masih kekurangan siswa.
"Di Yogyakarta, ada tiga SMA negeri yang masih kekurangan siswa. Di kabupaten Semarang, dalam PPDB 2023 ini sebanyak 99 SD negeri tak dapat siswa baru sehingga guru harus mencari murid dari rumah ke rumah," kata Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G, Feriansyah kepada Republika, Senin (10/7/2023).
Menurut Feriansyah, persoalan sekolah kekurangan siswa itu dapat berdampak serius kepada jam mengajar guru. Bagi guru yang sudah mendapat tunjangan profesi guru, mereka bisa terancam tidak menerima lagi tunjangannya karena kekurangan jam mengajar 24 jam dalam sepekan yang disyaratkan oleh peraturan.
"Solusi sekolah kekurangan murid adalah pemda hendaknya melakukan merger, menggabungkan sekolah negeri dan memperbaiki akses infrastruktur dan transportasi menuju sekolah," ujar dia.
Solusi itu dia sebut berbiaya tinggi dan melibatkan kementerian lain. Pekerjaan yang membutuhkan sinergisitas kementerian dan pemda. Kemudian, masalah dalam PPDB yang juga sering muncul adalah praktik jual-beli kursi, pungli, dan siswa ‘titipan’ dari pejabat atau tokoh di wilayah tersebut.
Menurut Feriyansyah, pihaknya mencatat kasus seperti itu terjadi di Bali, Bengkulu, Tangerang, Bandung, dan Depok. Modusnya adalah menitipkan siswa atas nama pejabat tertentu ke sekolah.
“Panitia PPDB sekolah yaitu kepala sekolah dan guru tidak punya power menolak sehingga praktik ini diam-diam terus terjadi. Pernah ramai aksi titipan oknum anggota DPRD kota Bandung dalam PPDB 2022,” kata dia.
Selain itu, ada juga yang sama-sama ‘main mata dan saling kunci’. Di mana, oknum ormas memaksa akan membocorkan ke publik nama-nama siswa dan pejabat yang melakukan titipan. Tapi, sementara itu, pihak oknum ormas ternyata juga punya calon siswa yang ingin dimasukkan ke sekolah yang sama. Usut punya usut, kata dia, oknum ormas menjual jasa dengan tarif tertentu kepada calon orang tua siswa.
Sebab itu, P2G mendesak agar pelaksanaan PPDB berkeadilan, akuntabel, transparan, dan bertanggung jawab. Orang tua dan guru dia minta untuk jangan takut menyampaikan dugaan pungli atau siswa titipan pada Dinas Pendidikan, Satgas Saber Pungli, Ombudsman, atau Kemendikbudristek bahkan ke media massa.
“Pihak Inspektorat Daerah, Dinas Pendidikan, dan Ombudsman hendaknya agresif melakukan monitoring, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaan PPDB dan indikasi kecurangannya. Terpenting adalah tindak lanjutnya,” jelas Feriyansyah.