REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR menjadi satu dari dua fraksi yang menolak rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan disahkan menjadi undang-undang. Sebab, RUU yang menggunakan metode omnibus law itu menghapus pengeluaran wajib atau mandatory spending sebesar 5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Oleh karena itu, Fraksi PKS berpendapat ditiadakannya pengaturan alokasi wajib anggaran, mandatory spending kesehatan dalam RUU Kesehatan merupakan sebuah kemunduran bagi upaya menjaga kesehatan masyarakat Indonesia," ujar anggota Komisi IX Fraksi PKS Netty Prasetiyani dalam rapat paripurna, Selasa (11/7/2023).
Padahal, komitmen pemerintah terhadap kesehatan lewat mandatory spending sebesar 5 persen dari APBN telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Namun, pemerintah periode saat ini malah menghapusnya.
Persentase anggaran khusus sektor kesehatan seharusnya ditingkatkan, bukan malah dihapuskan. Sebab, anggaran tersebut tentu sangat dibutuhkan demi menyelesaikan kompleksnya permasalahan kesehatan di Indonesia.
"Dengan adanya mandatory spending maka jaminan anggaran kesehatan dapat teralokasi secara adil dalam rangka menjamin peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, Fraksi PKS memandang mandatory spending adalah roh dan bagian terpenting dalam rancangan undang-undang Kesehatan ini," ujar Netty.
RUU Kesehatan juga berpotensi menghilangkan lapangan kerja bagi tenaga medis dan kesehatan warga negara Indonesia (WNI). Sebab, RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law mengatur pemanfaatan tenaga kesehatan dan tenaga medis warga negara asing (WNA).
Perlu ada perlindungan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan secara hukum. Baik untuk keselamatan, kesehatan, keamanan, serta termasuk harkat dan martabat tenaga medis dalam negeri.
Perlindungan ini sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan. Perlindungan dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perundungan terhadap mereka. "Hilangnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, baik itu karena masuknya tenaga kerja asing ataupun karena hilangnya aturan yang memperbolehkan sebuah pekerjaan, tentu tidak dapat diterima," ujar Netty.