REPUBLIKA.CO.ID, WONOSARI -- Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menyiapkan rancangan peraturan daerah (ranperda) tentang pemberian kompensasi terhadap hewan ternak yang mati akibat antraks dan penyakit lainnya. Langkah itu untuk memutus budaya mbrandu dan kasus antraks menyebar di wilayah itu.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Gunungkidul, Wibawanti Wulandari, mengatakan DPKH berupaya agar kasus antraks bisa lebih ditekan, salah satunya dari sisi regulasi.
"Kami menyiapkan rancangan perda yang mengatur kompensasi berupa pembelian ternak milik warga yang sakit oleh pemerintah," kata Wibawanti, Selasa (11/7/2023).
Pemkab Gunungkidul melalui Bagian Hukum dan DPKH, sedang membahas rancangan perda tersebut. Menurut dia, perlu ada kesiapan dari sisi anggaran jika hendak memberikan kompensasi.
Pembelian ternak yang sakit milik warga setidaknya harus sesuai nilainya dengan ternak tersebut. "Kami selalu mengupayakan usulan pemberian kompensasi ini," tambahnya.
Ia mengatakan kasus antraks di Gunungkidul sudah terjadi sejak 2019 lalu. Saat itu, antraks dilaporkan terjadi di Kalurahan/Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo.
Pada Desember 2019 hingga Januari 2020, antraks juga terjadi di Kalurahan Gombang, Kecamatan Ponjong. Kemudian, pada Januari 2022, kasus antraks kembali terjadi di Kalurahan Gombang, Kecamatan Ponjong, dan Kalurahan Hargomulyo, Kecamatan Gedangsari.
Terakhir, pada Juni 2023, kasus antraks terjadi di Padukuhan Jati, Desa Candirejo. "Kasus antraks ini memang menjadi perhatian khusus. Hal ini mengingat Gunungkidul merupakan gudang ternak di DIY," ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi D DPRD Gunungkidul, Ery Agustin, mendukung penyusunan ranperda soal kompensasi ternak itu jika sifatnya memang mendesak. Terutama dengan tujuan untuk melindungi peternak dan masyarakat.
"Kami minta Pemkab Gunungkidul sudah memperhitungkan juga dari sisi anggaran dampak diberlakukannya perda, sehingga tidak menyebabkan masalah baru di kemudian hari," kata dia.