Selasa 11 Jul 2023 19:45 WIB

Nasib Monarki Thailand Berada di Pertarungan Kursi Perdana Menteri Baru

Raja selama beberapa dekade dianggap sebagai sosok yang sempurna, hampir seperti dewa

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
 Raja Thailand Maha Vajiralongkorn Bodindradebayavarangkun (tengah) dan Ratu Thailand Suthida (kanan) menyambut para pendukung di luar Istana Agung.
Foto: EPA-EFE/NARONG SANGNAK
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn Bodindradebayavarangkun (tengah) dan Ratu Thailand Suthida (kanan) menyambut para pendukung di luar Istana Agung.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Keberadaan hak khusus bagi keluarga monarki di Thailand menjadi inti dari kebuntuan politik yang membayangi pemerintahan negeri gajah putih, setelah pelaksanaan pemilu 14 Mei 2023 lalu. Kemenangan kelompok reformis, partai progresif Move Forward tak sekedar ingin melepaskan cengkraman junta militer, namun juga tuntutan mengamandemen hukum lese majeste, yang akan mengubah nasib monarki Thailand ke depan.

Kondisi ini membuat kelompok progresif Move Forward yang dipimpin oleh Pita Limjaroenrat menghadapi jalan yang tidak pasti menuju pemerintahan. Meskipun meraih kemenangan yang mengejutkan bersama sekutu-sekutunya, namun tanpa ada kompromi politik dengan kekuatan partai lain, Pita justru akan menjerumuskan Thailand ke dalam krisis politik berkepanjangan.

Baca Juga

Alasan utamanya adalah bagian dari platform politik Move Forward yakni proposal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk mengamandemen hukum lese majeste Thailand. Di mana Pasal 112 dari hukum pidana yang akan menghukum penghinaan terhadap kerajaan dihukum hingga 15 tahun penjara, diminta untuk ditiadakan.

Suasana ini akan mengganggu stabilitas keamanan, khususnya bagi sebuah negara di mana penghormatan kepada raja selama ratusan tahun telah dijaga sebagai pusat identitas nasional. Gagasan amandemen tersebut sangat radikal, sehingga partai-partai minoritas dan banyak anggota Senat yang akan ditunjuk telah bersumpah akan menghalangi Pita menjadi perdana menteri.

"Amandemen yang diusulkan tidak sopan dan menyinggung kerajaan," kata Senator Seri Suwanpanon kepada Reuters, dilansir Selasa (11/7/2023).

Militer selama beberapa dekade telah melaksanakan tugasnya untuk membela kehormatan monarki, dengan membenarkan intervensi dalam politik, dan menggunakan hukum lese majeste untuk membungkam perbedaan pendapat, kata para kritikus.

Di parlemen, sebuah potret raksasa Raja Maha Vajiralongkorn menggantung di ruang sidang di mana para anggota parlemen akan memilih perdana menteri pada Kamis 13 Juli mendatang. Namun, pertarungan mengenai siapa yang akan mendapatkan posisi jabatan tersebut terus menemui kebuntuan, terutama setelah berminggu-minggu pemilu digelar dua bulan lalu.

Hal ini juga berkat suara dari Senat yang terdiri dari 250 kursi, yang ditunjuk oleh junta, terbukti dapat menghalangi aliansi progresif. Dimana partai Move Forward sebagai pemenang pemilu tak bisa memenangkan pemungutan suara gabungan dari kedua majelis senat tersebut.

Sistem ini ditetapkan dalam konstitusi yang disusun setelah kudeta tahun 2014 yang dipimpin oleh panglima angkatan darat Prayuth Chan-ocha, perdana menteri yang partainya kalah telak pada pemilu bulan Mei lalu. Banyak hal bergantung pada apakah sekutu utama Move Forward, pemenang tempat kedua Pheu Thai, akan tetap bertahan atau mencari mitra koalisi lain jika tawaran Pita terlihat gagal.

Sementara itu, Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, 70 tahun, yang tidak memiliki peran dalam memilih pemerintahan, tetap bungkam mengenai isu amandemen hukum lese majeste sejak pemilu. Istana Kerajaan tidak menanggapi permintaan komentar.

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement