REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Sunarsip mengatakan, persoalan backlog perumahan terutama dihadapi oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) informal. Backlog perumahan merupakan merupakan kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat.
"Kelompok MBR informal (pekerja maupun pengusaha informal) pada umumnya memiliki penghasilan yang tidak tetap dan tidak terpola," kata Sunarsip dalam diskusi daring Prospek dan Tantangan Pembiayaan Perumahan Rakyat, Selasa (11/7/2023).
Menurutnya, kondisi tersebut pada akhirnya menempatkan kelompok MBR informal sebagai unbankable. Padahal, kata dia, bila dilakukan profiling secara lebih spesifik, relatif banyak dari kelompok MBR informal yang memiliki kapasitas membayar relatif tinggi.
"Karenanya, perlu dilakukan penyempurnaan metode credit scoring yang memungkinkan kelompok MBR informal ini dapat mengakses pembiayaan perumahan dari perbankan," kata Sunarsip.
Sunarsip mengusulkan agar dimungkinkan perbankan menggunakan aspek pengeluaran untuk mengukur borrowing capacity pada kelompok MBR informal. Pengukuran berbasis data pengeluaran tersebut antara lain dapat dilakukan dari pemanfaatan data belanja calon debitur yang dapat ditangkap dari big data berdasarkan transaksi belanja yang pembayarannya dilakukan secara digital.
"Dengan demikian, ini berarti calon debitur terlebih dahulu telah terkoneksi dengan perbankan melalui rekening tabungan," ucap Sunarsip.
Konsekuensi dari penerapan metode pengukuran berbasis pengeluaran tersebut yakni OJK perlu mengatur mekanisme penggunaan metode internal credit scoring. Hal itu dengan memanfaatkan big data tersebut sebagai metode baku dan diizinkan oleh OJK untuk diterapkan perbankan.
Selain itu, Sunarsip menyebut, Bank Indonesia (BI) bersama perbankan perlu mendorong penetrasi implementasi QRIS. Khususnya kepada para pelaku ekonomi kecil, misalnya pada merchant atau pedagang pasar.
Hal tersebut bertujuan memudahkan masyarakat termasuk MBR informal dalam melakukan transaksi pembayaran secara digital. "Semakin masif penetrasi implementasi QRIS akan semakin banyak pula data digital dari calon debitur KPR yang dapat ditangkap oleh perbankan untuk dianalisis," ungkap Sunarsip.
Selain itu juga diperlukan penetrasi yang aktif dari para pemangku kepentingan dalam ekosistem perumahan untuk mendorong kelompok MBR memiliki tabungan. Hal itu baik melalui bank yang secara khusus menjadi penyalur KPR bersubsidi maupun lembaga pengelola tabungan perumahan lainnya seperti BP Tapera.
Kementerian PUPR telah memiliki program bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) bagi kelompok MBR informal. "Keberadaan program ini dapat menjadi pintu masuk bagi implementasi digitalisasi calon debitur KPR bersubsidi dari kelompok MBR informal tersebut," kata Sunarsip.