REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah meluncurkan kembali upaya pemerintahnya untuk mengubah sistem peradilan Israel. Langkah ini mengobarkan kembali protes nasional di Israel.
Pada Senin (10/7/2023), parlemen Israel atau Knesset memberikan suara pada rancangan undang-undang (RUU) yang membatasi kekuasaan Mahkamah Agung. Aksi protes dikhawatirkan meningkat jika RUU itu disahkan menjadi undang-undang.
Pemerintah religius-nasionalis Netanyahu meluncurkan rencana perombakan yudisial pada Januari. Perubahan yang diusulkan termasuk pembatasan pada surat perintah Mahkamah Agung, dan memberikan kekuasaan yang menentukan kepada pemerintah dalam menunjuk hakim.
Pada Maret Netanyahu menangguhkan pembahasan perombakan yudisial untuk memungkinkan pembicaraan dengan partai-partai oposisi. Penangguhan ini terjadi karena meningkatnya kekhawatiran di antara negara Barat, kerusuhan serta protes yang berkelanjutan, dan jatuhnya mata uang shekel.
Namun pembicaraan dengan partai-partai oposisi gagal mencapai hasil. Tiga bulan kemudian Netanyahu meluncurkan kembali rencana perombakan yudisial tersebut dengan membatalkan beberapa perubahan yang awalnya diusulkan, seperti klausul yang akan memungkinkan parlemen untuk mengesampingkan keputusan pengadilan.
Apa isi dari RUU baru?
RUU ini adalah amandemen yang akan membatasi kemampuan Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan yang dibuat oleh pemerintah, menteri, dan pejabat terpilih dengan mencabut kekuasaan hakim. Para pendukung mengatakan, RUU ini akan memungkinkan pemerintahan yang lebih efektif dan pengadilan tetap memberlakukan standar peninjauan kembali lainnya, seperti proporsionalitas. Kritikus mengatakan, tanpa pemeriksaan dan keseimbangan yang berdasarkan konstitusi, maka RUU ini akan membuka pintu korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Apa masalah Pemerintah Israel dengan peradilan?
Koalisi pemerintah yang berkuasa melihat sayap kiri dan elitis terlalu intervensionis di bidang politik. Mereka sering menempatkan hak minoritas di atas kepentingan nasional dan mengambil otoritas yang seharusnya hanya berada di tangan pejabat terpilih.
Mengapa RUU perombakan peradilan diprotes?
Para pengunjuk rasa meyakini perombakan peradilan dapat membuat demokrasi Israel dalam bahaya. Banyak yang khawatir bahwa Netanyahu dan pemerintahan sayap kanannya akan mengekang independensi peradilan, dengan kejatuhan diplomatik dan ekonomi yang serius.
Jajak pendapat menunjukkan, perombakan peradilan tidak populer di kalangan kebanyakan orang Israel. Mereka lebih prihatin dengan meningkatnya biaya hidup dan masalah keamanan.
Mengapa perubahan peradilan yang diusulkan menjadi persoalan serius?
"Check and balances" demokrasi Israel relatif rapuh. Ia tidak memiliki konstitusi, melainkan hanya hukum dasar yang dimaksudkan untuk membantu mengamankan fondasi demokrasinya. Di Knesset, pemerintah memegang kursi mayoritas 64-56.
Sementara kantor presiden sebagian besar bersifat seremonial sehingga Mahkamah Agung dipandang sebagai benteng demokrasi yang melindungi hak-hak sipil dan supremasi hukum. Amerika Serikat telah mendesak Netanyahu untuk mencari kesepakatan luas tentang reformasi peradilan dan menjaga independensi peradilan.
Apakah ada perubahan lain yang direncanakan?
Netanyahu telah mengindikasikan bahwa dia menginginkan perubahan dalam cara pemilihan hakim. Ada usulan yang diajukan, termasuk perubahan posisi penasehat hukum. Anggota parlemen oposisi mengatakan, koalisinya mencoba melakukan perombakan sedikit demi sedikit untuk membatasi independensi pengadilan, yaitu satu undang-undang pada satu waktu. Koalisi mengatakan, mereka sedang mengejar reformasi peradilan secara bertanggung jawab.