REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Materiil terkait masa jabatan ketua umum partai politik (ketum parpol) pada Selasa (11/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang tersebut masih beragendakan pemeriksaan pendahuluan.
Permohonan perkara Nomor 69/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Eliadi Hulu (Pemohon I) dan Saiful Salim (Pemohon II). Pemohon I pernah menjabat sebagai Ketua Umum salah satu organisasi intra kampus. Sedangkan Pemohon II merupakan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) periode 2021/2023.
Para Pemohon menguji norma Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) yang menyatakan, “Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART”.
Kuasa hukum para pemohon, Leonardo Siahaan mengatakan Indonesia adalah negara hukum sehingga parpol harus memiliki kejelasan terkait masalah pembatasan masa jabatan ketua umum parpol. Sebab parpol merupakan organisasi yang merupakan cerminan dari demokrasi.
"Untuk itulah karena parpol merupakan sentral dari sebuah demokrasi untuk itulah partai politik harus bisa mencerminkan pilar demokrasi tersebut," kata Leo dalam keterangan pers pada Selasa (11/7/2023).
Menurutnya, tidak ada kepastian hukum dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) masing-masing parpol mengenai pengaturan pembatasan masa jabatan dan periodesasi ketua umum parpol. Secara ideal menurutnya pimpinan organisasi diberikan kesempatan untuk memimpin selama lima tahun dan dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak.
"Para Pemohon mendalilkan ketentuan tersebut merugikan hak konstitusional para Pemohon yang mempunyai pengalaman sebagai pimpinan dengan kemampuan leadership dan manajemen yang baik dalam berorganisasi. Para Pemohon memiliki keinginan untuk bergabung menjadi kader atau anggota salah satu parpol yang ada di Indonesia," ujar Leo.
Leo menyatakan ketiadaan batasan masa jabatan pimpinan parpol menyebabkan kerusakan sistem demokrasi internal dan penyalahgunaan kekuasaan pimpinan terhadap anggota parpol serta menutup ruang partisipasi dan aspirasi anggota dalam pengambilan kebijakan atau keputusan. Apabila nantinya para Pemohon bergabung dalam salah satu parpol maka ia menduga akan kehilangan haknya dalam menyampaikan pendapat.
"Saat ini sering kali ditemukan beberapa anggota partai politik memiliki beberapa ketua umum partai yang sampai saat ini belum tergantikan seperti PDIP dan Demokrat yang mana sampai saat ini secara tidak sadar mempertontonkan suatu kelanggengan kekuasaan kepada rakyat," ujar Leo.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 23 Ayat (1) UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak".