REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dalam rangka milad ke-80 Universitas Islam Indonesia (UII), Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada YBW UII bersama dengan Panitia Milad ke-80
Universitas Islam Indonesia mengadakan pameran bertajuk Khazanah Literasi Islam
Indonesia: Koleksi eks-Perpustakaaan Islam.
Direktur Eksekutif Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada, Hadza Min Fadhly Robby, mengatakan manuskrip yang dipamerkan merupakan koleksi dari perpustakaan UII yang dulunya merupakan bagian dari perpustakaan Islam yang telah ada sejak zaman penjajahan Jepang.
"Koleksi-koleksi ini kami anggap sebagai koleksi yang sangat berharga dan sayangnya masih banyak orang yang belum tahu," kata Hadza dalam sambutannya, Rabu (12/7/2023).
Melalui pameran ini, Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada YBW UII berupaya
menyadarkan para pengunjung terkait pentingnya menjaga budaya literasi dengan
memamerkan manuskrip dari ragam zaman, utamanya dari pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20.
Manuskrip-manuskrip tersebut bercerita tentang pengalaman hidup masyarakat masa lampau, merefleksikan pandangan pemikir di zamannya, bahkan menjadi katalis yang mendorong perubahan zaman.
Salah satu manuskrip yang menarik yang dipamerkan yakni tulisan Usman bin Yahya, mufti Betawi yang menuliskan satu karya tentang tasawuf dan kemurnian agama. Manuskrip lain yang cukup penting adalah manuskrip karya Natsir muda yang berjudul Het Vasten yang bertemakan tentang puasa dan ditulis dalam bahasa Belanda.
"Kami sangat berharap agar pameran ini menjadi langkah awal bagi civitas akademika di UII untuk sama-sama mengulik kembali makna penting dari khazanah literatur yang ada di perpustakaan UII," ucapnya.
Rektor UII Fathul Wahid menyambut baik diselenggarakannya kegiatan tersebut. Ia berharap kegiatan tersebut dapat membuka mata pengunjung terkait khazanah literasi Islam.
"Saya berharap di dalam sana akan banyak muncul paling tidak teriak dalam hati 'oh ternyata'. Ada kejutan-kejutan yang menyenangkan," ungkapnya.
Fathul mengajak seluruh komponen bangsa untuk menghormati masa lalu. Hal tersebut merupakan bagian dari adab penting. Salah satu cara menghormati masa lalu adalah dengan membaca ulang masa lalu.
"Membaca tidak cukup hanya sekali, mengapa? Karena pembacaan kedua, ketiga, keempat di kesempatan berbeda sangat mugnkin memberikan pemamahan yang berbeda," kata dia.