REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Medco Power Indonesia meneken sejumlah perjanjian kerja sama pengembangan energi baru terbarukan. Kerja sama tersebut menjadi upaya untuk percepatan transisi energi menuju emisi nol bersih.
Sebanyak dua perjanjian diteken bersama PT PLN Persero untuk kerja sama pengembangan fasilitas solar PV dan pengembangan pusat data di Batam. Kemudian perjanjian dengan MOECO untuk kerja sama mengenai area panas bumi di Sumatera dan terakhir perjanjian dengan ACWA Power terkait pengembangan hidrogen hijau.
Adapun kerja sama tersebut diteken dalam The 11th Indonesia EBTKE ConEx yang diadakan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia di ICE BSD City, Rabu (12/7/2023).
Direktur Utama Medco Power, Eka Satria mengatakan, penandatanganan perjanjian studi bersama ini akan mendukung program transisi energi perusahaan. “Kami mengembangkan portofolio energi terbarukan dan mencapai Net Zero Emission untuk Scope 1, Scope 2 di tahun 2050 dan Scope 3 di tahun 2060,” kata dia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif, mengingatkan pentingnya transisi energi bersih saat ini. Tanpa upaya keras yang dilakukan antara pemerintah dan masyarakat emisi gas rumah kaca yang terus meningkat bakal menaikkan suhu udara semakin panas.
“Kita semua tahu, bahwa dampak dari pada emisi ini juga menyebabkan dunia semakin panas,” kata Arifin.
Ia mencontohkan, saat gelaran Sea Games di Kamboja beberapa waktu lalu di mana suhu udara mencapai 40 derajat celcius. Ketika itu, bertepatan dengan final cabang olah raga sepak bola di mana Indonesia menang atas Thailand.
“Alhamdulillah menang, tapi apa? saat penyerahan medali, atlet kita harus dipapah untuk naik ke panggung. Jadi, kalau kenaikan temperatur dibiarkan terus, kita pada kondisi yang tidak nyaman,” ujarnya menambahkan.
Karena itu, bukan tanpa alasan negara-negara di dunia saling berlomba untuk menyiapkan berbagai regulasi dalam mendukung target emisi nol bersih 2060 demi mencegah dunia yang semakin panas. Bahkan, aturan main yang disiapkan bersifat memaksa, salah satunya melalui mekanisme perdagangan karbon.
Negara yang tidak bisa mengikuti penurunan karbon, harus membayar pajak mahal yang akhirnya akan terbebani dengan pajak. Lebih jauh, pelaku industri pun ikut terdampak karena harus menambah biaya pengeluaran untuk emisi yang dikeluarkan dari aktivitas pabrik.
“Untuk itulah, kita harus melakukan program transisi energi dengan memanfaatkan sumber-sumber energi bersi dan terbarukan yang ada di dalam negeri, yang ternyata potensinya luar biasa cukup besar,” ujarnya.