REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penetapan biaya layanan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebesar 0,3 persen bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dikritik. Langkah yang diambil Bank Indonesia (BI) tersebut dinilai akan memberatkan UMKM yang masih belum sepenuhnya memahami literasi digital.
“Kami menilai baiknya BI membatalkan penerapan tarif 0,3 persen QRIS bagi UMKM dari semula 0 persen. Kami merasa masa afirmasi untuk penggratisan tarif QRIS perlu diperpanjang agar kalangan UMKM benar-benar terintegrasi dalam sistem pembayaran digital,” ujar Wakil Ketua Komisi XI Fathan Subchi dalam keterangannya, Rabu (12/7/2023).
Mulai 1 Juli 2023, BI telah menetapkan tarif baru untuk layanan QRIS bagi UMKM dari yang semula tidak dikenakan biaya menjadi dipatok tarif sebesar 0,3 persen. BI beralasan penerapan aturan tersebut untuk menjaga keberlangsungan ekosistem penyelenggaraan layanan QRIS dalam jangka panjang termasuk meningkatkan layanan kepada pedagang dan pengguna.
Fathan mengatakan, di tengah laju digitalisasi yang kian masif, penting bagi UMKM untuk bisa terintegrasi secara global, termasuk salah satunya melalui penggunaan QRIS. Saat ini metode QRIS mulai menjadi model pembayaran utama di kalangan UMKM.
“Metode pembayaran digital melalui QRIS juga menjadi salah satu dukungan BI terhadap program 30 juta UMKM Go Digital pada 2024, di mana menurut data BI, hingga Mei 2023 untuk UMKM atau gerai yang telah menggunakan QRIS mencapai 98,14 persen. Capaian ini tentu kita apresiasi bersama,” katanya.
Kendati demikian, lanjut Fathan, keputusan BI untuk menetapkan tarif baru transaksi QRIS bisa menjadi bumerang. Langkah tersebut bisa membuat pelaku UMKM maupun konsumen enggan mengunakan QRIS dan kembali ke model transaksi tunai.
“Tarif baru tersebut bisa dirasa akan memberatkan pelaku UMKM, konsumen, maupun operator QRIS maka risikonya orang akan kembali ke model pembayaran tunai sehingga akan menjadi langkah mundur,” katanya.
Politikus PKB ini pun mendorong pemerintah dan Bank Indonesia untuk fokus pada peningkatan edukasi dan pelatihan bagi pelaku UMKM dalam memahami dan memanfaatkan QRIS dengan baik. Menurutnya, dalam usaha mencapai inklusi keuangan yang lebih luas dan pengembangan ekonomi digital yang berkelanjutan, penting untuk mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan pelaku UMKM dalam mengadopsi teknologi digital seperti QRIS.
“Dengan adanya upaya kolaboratif antara pemerintah, Bank Indonesia, dan pelaku UMKM, diharapkan solusi yang berkelanjutan dapat ditemukan untuk memajukan sektor UMKM di era digital ini,” ujar Fathan.