REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK – Pita Limjaroenrat, yang diharapkan menjadi perdana menteri Thailand, mendapat dua serangan besar sekaligus. Ini muncul menjelang pemungutan suara di parlemen untuk memilih perdana menteri baru pada Kamis (13/7/2023).
Para pendukung Pita, kebanyakan mereka adalah pemilih muda yang menentang keterlibatan raja dan militer dalam politik, menyerukan aksi massa pada Rabu (12/7/2023) atas upaya penjegalan Pita menjadi perdana menteri.
Para aktivis gerakan aksi massa yang menuntut perubahan pasal 112 mengenai penghinaan terhadap raja dan menentang pemerintahan militer, mendesak para pendukungnya kembali ke jalan pada Rabu waktu setempat, paling tidak di lima kota termasuk Bangkok.
‘’Harus ada perlawanan terhadap usaha untuk menghancurkan demokrasi. Apapun putusannya, biarkan semua orang tahu, pertarungan baru saja dimulai’’ kata pemimpin aksi massa, Anon Nampa dalam tulisan tangan yang diunggah di akun Twitter, Rabu.
Kondisi ini meningkatkan potensi terjadinya kembali kemelut politik di Thailand, menyusul perpecahan politik dalam kurun dua dekade. Insiden terakhir adalah kudeta militer yang kemudian menjadikan Thailand dipimpin pemerintahan militer.
Mahkamah Konstitusi (MK) Thailand menyatakan menerima gugatan dari seorang pengacara atas kemenangan Pita dan partai yang dipimpinnya Move Forward. Pita selama ini mendorong amendemen undang-undang yang melarang menghina raja.
Keterlibatan raja dalam politik dianggap Pita dan para pendukungnya akan menyingkirkan pemerintahan demokratis yang menjadikan raja sebagai kepala negara. Pengajuan gugatan ke MK hanya beberapa jam dari putusan komisi pemilu.
Komisi pemilu merekomendasikan bahwa MK mendiskualifikasi Pita sebagai anggota parlemen. Ini merujuk gugatan bahwa Pita tak punya kualifikasi mengikuti pemilu pada 14 Mei lalu. Sebab ia saat itu memiliki saham di sebuah perusahaan media. Menurut aturan, itu tak boleh.
Belum ada indikasi.....