Rabu 12 Jul 2023 23:48 WIB

Jelang Tahun Baru Hijriyah, 3 Esensi Makna Hijrah Ini Perlu Direnungkan

Tahun baru Hijriyah momentum untuk perbaiki diri.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti / Red: Nashih Nashrullah
Berdoa untuk perbaiki diri. Tahun baru Hijriyah momentum untuk perbaiki diri
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Berdoa untuk perbaiki diri. Tahun baru Hijriyah momentum untuk perbaiki diri

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA— Umat Islam akan memperingati tahun baru 1445 Hijriyah dalam hitungan hari. Pendiri Nusantara Foundation New York Amerika Serikat, Imam Shamsi Ali, menjelaskan tentang tiga esensi hijrah yakni, tiga perubahan penting yang harus dilakukan oleh umat ini demi terwujudnya kebangkitan komunal dan Kemenangan kolektif itu.

Pertama, pentingnya melakukan perubahan cara pandang keimanan dari iman yang pasif ke iman yang aktif. Keimana pasif yang kita maksud adalah keimanan yang terbatas pada rasa emosi (sentimen) semata. Ada emosi yang di dada. Ada pengakuan di akal. Tapi semua terbatas pada rasa dan pengakuan.

Baca Juga

Keimanan seperti ini dikenal dalam  dengan angan-angan dan khayalan. Sabda Rasul: “Keimanan bukan dengan angan-angan dan khayalan. Tapi apa yang tertanam kuat dalam dada dan dibuktikan oleh amal (karya dan inovasi)."

Perubahan iman pasif ke iman aktif adalah perubahan pemahaman dan karakter keimanan yang bertumpu pada emosi atau sentimen menjadi keimanan yang menjadi kekuatan tekad dalam mewujudkan berbagai karya dan inovasi kehidupan. Seperti yang digambarkan dalam Al quran dengan bagaikan pohon yang baik. Akarnya tertanam kokoh ke dalam tanah, dahannya tinggi ke atas langit dan memberikan buah-buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya.

Kedua, pentingnya umat ini melakukan perubahan pada cara pandang tentang kehidupan. Akal pemikiran yang paham tentang kehidupan dengan pemahaman yang tepat. Di antaranya memahami bahwa kehidupan ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipilah-pilah ke berbagai ruang yang berbeda.

"Tapi pada khutbah kali ini saya tekankan pentingnya membangun cara pandang yang terbarukan tentang dunia dan kehidupan kita," kata dia. 

Satu di antaranya yang penting adalah pentingnya menyadari bahwa dunia kita saat ini adalah dunia global yang bercirikan, di antaranya kompetisi yang ketat. Bahwa manusia baik pada tataran kehidupan pribadi maupun kolektif tidak bisa menghindari kompetisi kehidupan dalam segala lininya.

Baca juga: Ketika Kabah Berlumuran Darah Manusia, Mayat di Sumur Zamzam, dan Haji Terhenti 10 Tahun

Karenanya umat harus paham dan sadar. Tapi yang terpenting harus bersiap untuk menjadi bagian dari kompetisi dan menang. Jika tidak, maka umat hanya akan jadi penonton dan para akhirnya hanya jadi obyek dan korban kompetisi dunia global saat ini.

Ketiga, pentingnya umat ini melakukan perubahan prilaku dan karakter. Bahwa salah satu krisis keumatan saat ini adalah krisis keteladanan. Manusia di berbagai belahan dunia saat ini sedang mencari ketauladanan itu.

Karena umat ini ditakdirkan menjadi umat teladan atau umat terbaik maka harusnya umat melakukan pembenahan agar pada dirinya ada karakter dan prilaku yang menjadi tauladan bagi dunia.

Keteladanan itu bukan saja pada tataran individual (personal). Tapi juga yang penting adalah Urgensi umat ini membangun ketauladanan pada tataran kehidupan kolektif. Baik pada tingkatan kebangsaan (nation) maupun pada tataran global keumatan. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement