Pojok Lincak
Transaksi menggunakan QRIS kini berbayar sejak awal Juli 2023, besarnya 0,3 persen dari nilai transaksi. Bank Indonesia mengimbau agar pedagang tidak membebankan biaya itu kepada pembeli, tetapi kenyataannya, banyak pembeli mengeluh karena terkena beban biaya itu. Bahkan mencapai 10 persen. Harga cuma Rp 10 ribu, pembeli diminta membayar Rp 11 ribu lewat QRIS.
Bang Lawi jadi ingat pengalaman Bang Lawi. Sudah lama Bang Lawi geram dengan pembayaran yang tidak menggunakan uang tunai untuk harga-harga kecil. Beli barang seharga Rp 30 ribu, bayarnya pakai kartu debit. Tak ada uang tunai Rp 30 ribu-kah? Begitu ada QRIS, semua memilih membayar pakai QRIS.
Suatu hari Bang Lawi pernah membeli tahu gejrot di sebuah mal. Satu bungkus harganya Rp 30 ribu. Ketika hendak membayar, pedagangnya menyatakan tak ada uang kembalian, lalu menyarankan bayar pakai QRIS atau kartu debit. Rp 30 ribu pakai kartu debit? Ogah. Bang Lawi memilih batal membeli tahu gejrot daripada uang Rp 50 ribu di tangan ditolak hanya karena tak ada kembalian.
Kali lain, Bang Lawi pernah membeli alat permainan dari kayu jati. Setelah tawar-menawar, dapatlah harga yang cocok. Khawatir di kantong tidak ada uang satu juta, Bang Lawi bertanya bisa-tidaknya membayar pakai kartu kredit, karena di lapaknya ada mesin electronic data capture (EDC). Si pedagang menjawab bisa, tetapi ia menyarankan bayar tunai saja. Jika uang tunai tidak mencukupi, ia bersedia mengantar ke mesin ATM. “Kalau nontunai dipotong biaya administrasi, makanya saya suka dibaya tunai saja,” kata dia.
Jadi, untuk apa BI mengeluarkan uang recehan, bahkan koin Rp 500 pun masih diterbitkan, jika masyarakat menolak pembayaran dengan uang tunai? Transaksi nontunai memang memudahkan aparat melacak transaksi keuangan masyarakat.
Bang Lawi