REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, mengaku, setiap tahun semakin banyak keluhan pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Menurut dia, Kemendikbudristek tidak perlu takut untuk mengubah kebijakan PPDB yang ada saat ini jika dinilai tidak layak untuk dilanjutkan.
“Nggak usah takut untuk mengubah PPDB. Karena PPDB ini kan sebenarnya adalah sebuah konsep pada era 2017. 2023 mestinya konsep tersebut boleh berubah," ujar Dede dalam rapat dengan Kemendikbudristek, dikutip dari Youtube Komisi X DPR RI, Kamis (13/7/2023).
Dede menyarankan Kemendikbudristek membuat sebuah konsep baru untuk 2024. Dia mengatakan, Kemendikbudristek semestinya sudah mempunyai hasil evaluasi dari pelaksanaan PPDB zonasi selama lima tahun terakhir.
Berdasarkan rapat-rapat di DPR terkait PPDB, kata Dede, yang ada justru semakin banyak keluhan terkait hal tersebut. Bahkan semakin banyak pula kasus penyimpangan dalam proses PPDB.
“Saya khawatirnya, ketika beberapa kepala daerah sudah mengatakan terjadi penyimpangan, maka APH masuk. Kalau APH masuk, berapa banyak orang tua siswa, guru, harus berurusan dengan APH hanya karena anaknya ingin sekolah. Ini nggak bener. Menurut saya yang paling baik saat ini adalah evaluasi kembali kebijakan ini,” kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih, menilai kebijakan PPDB zonasi yang tak kunjung mencapai tujuan awalnya sejak 2017 layak dievaluasi. Dimana, tujuan awal dari diberlakukannya zonasi dalam sistem PPDB adalah untuk menghilangkan ketimpangan kualitas pendidikan lewat penghapusan status sekolah-sekolah favorit.
“Menurut saya evaluasi total sistem zonasi ini. Karena berarti tujuan utamanya untuk menghilangkan sekolah favorit dan pemerataan pendidikan belum berhasil. Paling tidak sampai sekarang,” ujar Fikri.
Dia menjelaskan, sistem zonasi salah satunya ditujukan untuk menghilangkan ketimpangan kualitas pendidikan melalui penghapusan status sekolah-sekolah negeri favorit. Tapi, kata dia, ternyata masih ada saja yang berloomba untuk mendapatkan sekolah-sekolah tertentu dengan berbagai macam cara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.
“Kalau masih ada yang berlomba mendapatkan sekolah-sekolah ini dengan berbagai macam cara, surat keterangan palsu atau apa gitu, berarti masih ada favorit dong? Artinya sistem ini tidak berhasil. Layak untuk dievaluasi kalau sistem zonasi ini seperti itu,” tegas dia.
Seharusnya, kata Fikri, perkembangan dari tujuan awal PPDB zonasi diberlakukan sudah terlihat saat ini, yang kurang lebih sudah lima tahun berjalan sejak 2017. Persoalan-persoalan klasik seperti pejabat membuat rekomendasi agar seorang anak dapat bersekolah di sekolah tertentu, pungutan liar hingga jutaan, dan lain sebagainya membuktikan masih adanya sekolah favorit.
“Mestinya ada progres. Misalnya yang tadinya diincer cuma satu, selanjutnya yang diincer ada tiga atau lima. Ada perubahan begitu,” tutur politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.