Jumat 14 Jul 2023 07:39 WIB

Pita Limjaroenrat akan Atur Strategi Baru untuk Pemilihan PM Thailand Putaran Kedua

Pita memenangkan suara terbanyak dalam pemilu pada 14 Mei, namu gagal di parlemen.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
 Pemimpin Partai Move Forward, Pita Limjaroenrat gagal memenuhi ambang batas jumlah suara dalam pemilihan perdana menteri di parlemen Thailand, pada Kamis (13/7/2023).
Foto: AP Photo/Wason Wanichakorn
Pemimpin Partai Move Forward, Pita Limjaroenrat gagal memenuhi ambang batas jumlah suara dalam pemilihan perdana menteri di parlemen Thailand, pada Kamis (13/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemimpin Partai Move Forward, Pita Limjaroenrat gagal memenuhi ambang batas jumlah suara dalam pemilihan perdana menteri di parlemen Thailand, pada Kamis (13/7/2023). Kandidat reformis itu tidak akan menyerah, dan partainya akan mengatur ulang strategi untuk memenangkan pemungutan suara putaran kedua pekan depan.

“Saya terima tapi saya tidak akan menyerah. Saya akan menggunakan waktu ini untuk mendapatkan lebih banyak dukungan," ujar Pita usai pemilihan, dilaporkan Aljazirah.

Baca Juga

Pita memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum Thailand pada 14 Mei. Pita adalah calon tunggal. Namun dia tidak dapat mengumpulkan dukungan yang diperlukan dari 749 anggota legislatif bikameral Thailand.

Pita yang diusung oleh aliansi delapan partai menguasai 312 kursi di majelis rendah, tetapi dia membutuhkan 375 suara untuk dapat membentuk pemerintahan. Ketika pemungutan suara selesai, Pita telah memenangkan 323 suara, termasuk 13 suara dari majelis tinggi atau senat yang berhaluan konservatif, yang dibentuk oleh militer setelah kudeta pada 2014. Kemudian 182 legislator menentangnya, dan 198 abstain.

Banyak senator menentang agenda anti kemapanan Partai Move Forward, yang mencakup rencana kontroversial untuk mengamandemen undang-undang yang melarang penghinaan terhadap monarki dan membatalkan peran militer dalam politik.

Pemungutan suara pada Kamis menandai momen penting bagi Thailand setelah keberhasilan pemilu yang mengejutkan Move Forward dalam pemilihan umum 14 Mei. Hal ini menimbulkan kekhawatiran ketidakstabilan politik di negara yang telah mengalami puluhan kudeta militer dalam satu abad terakhir.

Kekalahan Pita di parlemen adalah pukulan terbaru yang dihadapinya. Mahkamah Konstitusi Thailand mengambil dua tuntutan hukum terhadap Pita dan partainya menjelang pemilu. Mahkamah Konstitusi sepakat untuk meninjau pengaduan terhadap Move Forward atas rencananya mengubah undang-undang yang melarang penghinaan terhadap monarki. Pengumuman itu disampaikan beberapa jam setelah KPU merekomendasikan agar pita didiskualifikasi dari parlemen.

Rekomendasi itu menyusul pemeriksaan kepemilikan saham Pita di sebuah perusahaan media. Politisi tidak diperbolehkan memiliki saham di media. Pita mengatakan, perusahaan media itu tidak mengudara sejak 2007 dan saham tersebut diwarisi dari ayahnya.

Aliansi Pita sekarang harus memutuskan apakah akan mendukungnya lagi dalam pemungutan suara putaran kedua yang dijadwalkan pada 19 Juli, atau mengajukan kandidat lain. Di luar parlemen, sejumlah kecil pendukung Move Forward yang mengenakan baju warna oranye khas partai mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan atas hasil akhir, terutama kurangnya dukungan dari para senator.

“Senat tidak bersama rakyat.  Pemilu tidak berarti apa-apa bagi mereka,” ujar seorang pendukung, Nattapon Jangwangkaew.

“Saya tidak setuju dengan ini. Saya berharap bisa selesai hari ini. Thailand harus maju.  Mereka seharusnya tidak mengulur waktu seperti ini. Orang-orang telah memilih dan mereka harus mengikuti," kata pendukung lainnya, Wipada Pimtare yang menangis di tengah guyuran hujan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement