REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemimpin Partai Move Forward, Pita Limjaroenrat gagal memenuhi ambang batas jumlah suara dalam pemilihan perdana menteri di parlemen Thailand, pada Kamis (13/7/2023). Kandidat reformis itu tidak akan menyerah, dan partainya akan mengatur ulang strategi untuk memenangkan pemungutan suara putaran kedua pekan depan.
“Saya terima tapi saya tidak akan menyerah. Saya akan menggunakan waktu ini untuk mendapatkan lebih banyak dukungan," ujar Pita usai pemilihan, dilaporkan Aljazirah.
Pita memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum Thailand pada 14 Mei. Pita adalah calon tunggal. Namun dia tidak dapat mengumpulkan dukungan yang diperlukan dari 749 anggota legislatif bikameral Thailand. Pita yang diusung oleh aliansi delapan partai menguasai 312 kursi di majelis rendah, tetapi dia membutuhkan 375 suara untuk dapat membentuk pemerintahan.
Ketika pemungutan suara selesai, Pita telah memenangkan 323 suara, termasuk 13 suara dari majelis tinggi atau senat yang berhaluan konservatif, yang dibentuk oleh militer setelah kudeta pada 2014. Kemudian 182 legislator menentangnya, dan 198 abstain.
Banyak senator menentang agenda anti kemapanan Partai Move Forward, yang mencakup rencana kontroversial untuk mengamandemen undang-undang yang melarang penghinaan terhadap monarki dan membatalkan peran militer dalam politik
Siapakah Pita?
Kolega dan teman-teman Pita menggambarkan dirinya sebagai sosok yang rendah hati, mahir, terbuka untuk kompromi, serta memiliki pikiran dan jiwa yang secara intrinsik diarahkan untuk pelayanan publik. Pita lahir pada tahun 1980 dari keluarga kaya dan terkoneksi secara politik di Thailand. Pita, yang dikenal oleh teman-temannya sebagai Tim, mengatakan, minatnya pada politik dimulai sejak masa sekolah menengah yang ditempuh di Selandia Baru.
Ketika remaja, Pita dikenal sebagai pemberontak yang mendengarkan musik rock and roll dan bermain gitar. Keluarga Pita mengirimnya untuk sekolah di Selandia Baru.
Dalam wawancara di Program YouTube Thailand Aim Hour awal tahun ini, Pita mengatakan, ketika di Selandia Baru satu-satunya televisi yang tersedia menayangkan sinetron Australia atau debat di parlemen. Pita mengatakan, dia mendengarkan pidato manta perdana menteri Selandia Baru Jim Bolger sembari mengerjakan pekerjaan rumah.
Setelah kembali ke Thailand, Pita menyelesaikan gelar sarjana di bidang keuangan dan perbankan di Universitas Thammasat di Bangkok. Dia melanjutkan untuk mendapatkan gelar master dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dia juga mendapatkan gelar akademik dalam bisnis dan kebijakan publik di Harvard University.
Di usia pertengahan 20-an, Pita mengambil alih bisnis keluarga. Dia menjadi CEO Agrifood, setelah kematian ayahnya. Kendati masih muda, kepemimpinan Pita membantu perusahaan menjadi salah satu produsen minyak bekatul terbesar di Asia.
“Ayah Pita mewakili stereotip sosok pemimpin yang kuat di perusahaan, dan ketika dia meninggal, kapal itu terapung-apung, dan perusahaan akan hilang. Jadi pemuda ini (Pita) yang ketika itu berusia 25 tahun harus turun tangan. Dia menghadapi tantangan khusus. Dia mampu membalikkan keadaan dan mengembalikan kapal ke jalurnya menjadi bisnis yang sukses. Ini mengungkapkan banyak hal tentang kemampuannya," ujar Jesus M. Acuna, seorang pengacara Meksiko yang merupakan teman sekelas Pita di Harvard.
Acuna adalah seorang teman dekat yang menghadiri pernikahan Pita pada 2012. Acuna mengatakan, Pita memiliki pikiran dan semangat yang ditujukan untuk pelayanan publik.
"Di percaya bahwa hal terpenting yang dapat Anda investasikan di suatu negara adalah orang, dan mempersiapkan mereka, memberi mereka alat untuk memenuhi impian pribadi mereka,” kata Acuna, dilaporkan Aljazirah, Kamis (13/7/2023).
Pita melakukan debut politiknya pada 2018, ketika dia bergabung dengan partai pendahulu Move Forward, yaitu Future Forward. Pita dipercaya menangani kebijakan pertanian partai tersebut. Dia pertama kali terpilih menjadi anggota parlemen pada 2019.
Pita pertama kali menarik perhatian nasional dengan pidato di parlemen pada 2019 tentang penderitaan petani Thailand. Menurut Pita, petani Thailand terjerat utang oleh tingginya biaya produksi pertanian.
Mahkamah Konstitusi Thailand membubarkan partai Future Forward, dan melarang pemimpinnya untuk berpolitik. Sejak itu, Pita dan anggota parlemen partai yang tersisa membentuk Partai Move Forward.
Pita menggambarkan, sembilan tahun sejak kudeta militer pada 2014 sebagai dekade yang hilang untuk Thailand. Dalam sebuah wawancara dengan Layanan Penyiaran Publik Thailand, Pita mengatakan, Partai Move Forward terbentuk untuk mengembalikan akal bagi politik Thailand.
“Kami akan menyelesaikan sesuatu. Kami akan mendesentralisasikan negara, mendemonopolisasi ekonomi dan mendemiliterisasi negara,” ujar Pita.
Padipat Sunthifada, seorang legislator Partai Move Forward yang baru-baru ini terpilih sebagai wakil ketua parlemen Thailand mengatakan, Pita mengetahui masalah Thailand. Padipat menambahkan, Pita ingin mengubah Thailand bukan hanya dengan kemenangan cepat, tetapi juga mengubah struktur pemerintahan Thailand untuk mengubah negara.
"Jadi dia memiliki pemahaman yang sangat baik dan cukup berani untuk berbicara di depan umum (tentang masalah Thailand),” kata Padipat.
Padipat mengatakan, hal yang membuat Pita menjadi pemimpin yang baik adalah keterbukaannya untuk berkompromi dan kemampuannya berhubungan baik dengan generasi muda maupun generasi tua.
“Dia sangat sederhana dan rendah hati. Ketika kami bekerja sama, kami bekerja sebagai tim dan sebagai teman yang setara di partai,” kata Padipat.
Wakil Ketua Move Forward, Sirikanya Tansakul menggambarkan Pita sebagai orang yang sangat mahir. Dia mengatakan, ketika ada masalah Pita dengan sangat cepat membuat konsep dan memberikan solusi atau saran serta rekomendasi. Kedua rekannya menggambarkan Pita sebagai ayah yang sangat menyayangi kepada putrinya, Pipim yang berusia tujuh tahun.
Menurut outlet berita Thailand Khaosod English, Pita memiliki hak asuh tunggal atas putrinya. Pita mengalami perceraian yang pahit dan sengit. Mantan istri Pita mengajukan gugatan yang menuduhnya melakukan pelecehan.
Pita membantah tuduhan itu. Dia mengklaim tidak pernah ada kekerasan dalam rumah tangganya. Pita mengungkapkan bahwa dia percaya pada hak perempuan, keluarga, anak-anak dan politisi. Sirikanya mengatakan Pita mengutamakan waktunya dengan putrinya.
“Kami harus menyesuaikan jadwal kami dengan itu. Kadang-kadang, dari waktu ke waktu, kami harus mengadakan pertemuan pada jam-jam yang tidak biasa, tetapi dia mungkin tidak dapat hadir karena tugasnya sebagai orang tua,” ujar Sirikanya.