REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Buruh akan mengajukan gugatan uji materi atas ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK). Partai kaum pekerja itu ingin MK menghapus ketentuan yang sudah 30 kali digugat itu supaya mereka bisa mencalonkan presiden sendiri.
Tim kuasa hukum Partai Buruh menyebut, gugatan tersebut akan didaftarkan ke MK pada Kamis (20/7/2023). Gugatan itu diajukan oleh tiga pihak, yakni Partai Buruh dan dua mantan bakal caleg Partai Buruh yang memilih mengundurkan diri karena partainya tidak bisa mencalonkan presiden.
Dalam gugatan itu, Partai Buruh menguji konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu. Pasal itu mengatur bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden bisa dilakukan jika partai politik (parpol) atau gabungan parpol punya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional pada pemilu sebelumnya. Adapun Partai Buruh ingin pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional alias dihapus.
Salah satu anggota tim kuasa hukum Partai Buruh, Alghiffari Aqsa mengatakan, pasal presidential threshold sebenarnya sudah digugat sebanyak 30 kali di MK. Namun, semua gugatan itu kandas dengan berbagai alasan.
Alghiffari yakin gugatan ke-31 yang diajukan Partai Buruh ini bisa dikabulkan MK. Sebab, terdapat sejumlah fakta antara gugatan Partai Buruh dan 30 gugatan sebelumnya.
Pertama, gugatan ke-31 ini diajukan oleh Partai Buruh, partai yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 dan ingin mencalonkan presiden. "Pemohon adalah Partai Buruh yang ingin mencalonkan presiden alternatif di luar nama yang sekarang beredar," kata Alghiffari saat konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, Jumat (14/7/2023).
Kedua, MK kini sudah berubah pandangan terkait open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. Dalam 30 gugatan sebelumnya, MK beberapa kali menolak gugatan dengan alasan pasal presidential threshold merupakan open legal policy. Namun, MK beberapa waktu lalu ternyata mengabulkan gugatan terkait masa jabatan pimpinan KPK, sebuah ketentuan yang selama ini dianggap open legal policy.
"Nah gara-gara putusan terkait KPK itu, artinya MK sudah tidak lagi menggunakan rezim putusan open legal policy," ujar anggota tim kuasa hukum Partai Buruh, Feri Amsari.
"Dengan demikian, MK wajib pula menafsirkan apakah Pasal 222 UU Pemilu ini bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Jadi tidak bisa lagi menghindar dengan alasan open legal policy," kata pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas itu menambahkan.
Feri mengatakan, ketika MK masuk membahas substansi pasal presidential threshold, pihaknya bisa menjelaskan mengapa pasal presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945. Sekilas, Feri menjelaskan bahwa Pasal 6A ayat 2 secara eksplisit menyatakan bahwa calon presiden dan atau calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum penyelenggaraan pemilu.
Pasal tersebut, kata Feri, tidak menyertakan syarat-syarat lain seperti presidential threshold, apalagi berdasarkan raihan kursi pemilu sebelumnya. "Artinya berdasarkan pasal 6A Ayat 2, Partai Buruh berhak secara konstitusional mengajukan calon presiden dan atau calon wakil presiden," ujarnya.
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan, gugatan ini diajukan karena ketentuan presidential threshold telah menghambat partainya untuk mencalonkan presiden, yang sesuai dengan aspirasi buruh. Padahal, Partai Buruh merupakan peserta Pemilu 2024.
"Andaikan tidak ada presidential threshold, kita tidak akan menjadi penonton saja dari sebuah proses penting memilih presiden. Sekarang kita hanya jadi penonton ketika koalisi A, koalisi B, koalisi C ngomong. Bahkan, kita tidak mengerti apa dasar mereka membentuk koalisi itu," kata Said, merujuk pada tiga poros koalisi capres yang sudah terbentuk jelang Pilpres 2024.