REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinamika koalisi masih sarat ketidakpastian walau penetapan capres-cawapres menyisakan empat bulan lagi. Pengamat politik Ahmad Khoirul Umam mengatakan, kondisi ini disebabkan beberapa faktor.
Mulai dominasi kekuatan elektoral kandidat, visi kandidat yang belum jelas dan mampu mengikat agenda kepentingan masing-masing parpol. Ia melihat preferensi politik masyarakat menuju 2024 masih terbagi dua.
"Yaitu, kelompok pro keberlanjutan dan kelompok pro perubahan," kata Khoirul, Jumat (14/7).
Direktur Eksekutif Indostrategic ini menerangkan, masyarakat yang ingin keberlanjutan direpresentasikan dengan enam kekuatan partai politik besar. Mulai PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, PKB, PAN maupun PPP.
Sedangkan, arus masyarakat yang menghendaki perubahan direpresentasikan Partai Nasdem, PKS dan Partai Demokrat. Apalagi, Khoirul mengingatkan, poros yang mengusung keberlanjutan masih belum mampu satukan kekuatan.
"Arus besar pro keberlanjutan tampak masih belum mampu menghadirkan koalisi besar yang dulu sempat terwacanakan," ujar Khoirul.
Belum lagi, ia menekankan, gerbong pro keberlanjutan masih terbelah menjadi dua faksi kekuatan besar. Ada yang mengusung Ganjar Pranowo dari PDIP dan ada yang mengusung Prabowo Subianto dari Partai Gerindra.
Selain itu, partai-partai lain seperti Partai Golkar dan PAN sampai saat ini pergerakan masih dinamis dan tidak terprediksi. Sikap politik mereka bergantung ke keputusan politik penentuan cawapres Ganjar dan Prabowo.
"Sehingga, Golkar dan PAN masih bisa menjadi partikel bebas yang akan menentukan terbentuknya poros keempat ataukah akan bergabung dengan poros yang sudah ada," kata Khoirul.
Sampai saat ini, belum ada satu pun poros kekuatan yang mengumumkan capres-cawapres untuk Pilpres 2024. Sedangkan, penetapan capres-cawapres yang dilakukan KPU sendiri akan dilakukan 25 November 2023 mendatang.