REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL - Ponijo, salah satu nelayan senior di Bantul, DIY, yang mulai berlayar menggunakan kapal sejak 1996, telah mengalami asam garam selama melaut. Dari pengalaman dua dekade menjadi nelayan, salah satu hal yang membuatnya bertanya-tanya belakangan ini adalah kondisi cuaca yang tak menentu, bahkan cenderung ekstrem.
“Dulu itu waktu muda, paling-paling yang dihadapi ya angin lesus. Anginnya berputar-putar begitu dari laut, terus berhenti, tidak sampai ke daratan. Tapi kok sekarang ini lebih mengerikan, ya? Dan kok lebih sering terjadi daripada dulu,” ujar Ponijo saat mengikuti Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN) di Pantai Baru, Srandakan.
Fenomena yang dialami Ponijo ini dijelaskan oleh Kepala BMKG Dwikorita Karnawati sebagai salah satu dampak perubahan iklim yang dialami oleh seluruh penduduk di dunia. Menurutnya, ancaman terbesar bagi manusia saat ini bukan lagi perang atau pandemi.
Berdasarkan forum ekonomi dunia, ancaman terbesar saat ini adalah perubahan iklim. "Dan ini memang betul-betul nyata dihadapi oleh semuanya. Itulah mengapa SLCN ini diselenggarakan demi keselamatan para nelayan kita dan juga untuk peningkatan produksi tangkap,” jelas Dwikorita.
Ditambahkan, perubahan iklim ini juga mengubah pola cuaca yang selama ini terjadi. Salah satunya ketika siklon atau Badai Cempaka menerjang pesisir selatan Jawa pada 2017 silam. Secara teori, pusaran angin ini harusnya tidak bisa menembus daratan mengingat Indonesia berada di garis khatulistiwa.
Sekretaris Daerah Kabupaten Bantul, Agus Budiraharja, yang meneruskan pesan bupati menekankan kegiatan SLCN juga dimaksudkan untuk membekali nelayan dalam menghadapi tantangan cuaca serta kondisi laut yang tidak mudah.
Di hadapan Ponijo dan nelayan lain yang mengikuti SLCN, Agus berharap para nelayan dan ahli dari BMKG yang hadir di forum dapat saling berbagi wawasan.
"Jadi para nelayan mendapat pemahaman lebih mengenai perubahan iklim, tanda-tanda cuaca buruk, hingga teknik tanggap darurat yang harus dilakukan di kondisi terdesak," ujar Agus.