REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rizem Aizid dalam bukunya Fiqih Keluarga Terlengkap mengatakan, bahwa nikah atau pernikahan itu ada banyak macamnya. Namun secara garis besar, macam-macam pernikahan itu dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yakni pernikahan yang dibolehkan (halal) dan pernikahan yang dilarang.
Pernikahan yang halal adalah pernikahan yang sesuai dengan aturan dan tuntunan syariat. Pernikahan yang halal selain diatur dalam hukum syariat, juga diatur dalam hukum positif, yakni undang-undang. Pernikahan semacam ini disebut nikah resmi atau sah.
Lantas, pernikahan macam apakah yang dilarang dalam Islam itu? Berikut ini adalah beberapa jenis pernikahan yang dilarang karena tidak sesuai dengan tujuan pernikahan dalam Islam, yaitu:
Pertama, nikah badal (tukar-menukar istri). Salah satu jenis pernikahan yg dilarang dalam Islam adalah nikah badal.
Dalam pernikahan jenis ini, pihak istri tidak diberi hak untuk berpendapat atau mengambil keputusan. Keputusan tentang pertukaran murni ditentukan oleh suami. Jadi, bila ada dua suami melakukan kesepakatan untuk bertukar istri tanpa perlu membayar mahar, maka itu disebut nikah badal.
Kedua, zawaj al-istibda'. Jenis pernikahan kedua yang pernah berlangsung di zaman jahiliyah dan dilarang dalam Islam adalah zawaj al-istibda'.
Dalam pernikahan ini, pihak suami diperbolehkan memaksa istrinya untuk tidur dengan laki-laki lain sampai hamil dan setelah hamil si istri dipaksa untuk kembali kepada suaminya semula. Nikah ini bertujuan semata-mata untuk memperoleh bibit unggul.
Tentunya, laki-laki yang diminta untuk tidur dengan si istri adalah laki-laki yang dianggap istimewa. Pernikahan jenis ini dilarang dalam Islam, karena merugikan dan menindas perempuan. Padahal, Islam sangat menghormati dan menjunjung tinggi perempuan.
Ketiga, nikah mutah. Jenis pernikahan ketiga yang dilarang dalam Islam adalah nikah mutah. Secara bahasa, kata "mutah " memiliki arti kenikmatan, kesenangan, dan kelezatan. Dari makna ini, maka nikah mutah adalah pernikahan yang bertujuan untuk kenikmatan atau kesenangan semata-mata.
Dalam praktiknya, nikah mutah adalah pernikahan dengan menetapkan batas waktu tertentu misal sehari, dua hari, seminggu, sebulan, setahun, atau tergantung kesepakatan.
Setelah batas waktu habis, maka mereka akan bercerai (bukan lagi suami-istri). Jadi, nikah mutah adalah nikah sementara waktu dengan imbalan tertentu.
Lantas, apakah nikah mutah termasuk pernikahan yang dibolehkan atau dilarang? Mengenai boleh atau tidaknya nikah mutah , para ulama berbeda pendapat. Ada yang membolehkan dengan syarat tertentu, tapi ada pula yang melarang dengan tegas. Berikut adalah sejumlah pendapat tentang boleh atau tidaknya nikah mutah:
Pada hakikatnya, Islam melarang nikah mutah . Seluruh sahabat Nabi SAW, juga bersepakat (ijma') bahwa nikah mutah itu tidak boleh, apalagi dilakukan tanpa wali atau tanpa saksi. Salah satu ulama besar, Ibnu Majah, juga secara tegas mengharamkan nikah mutah. Pengharaman nikah mutah ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:
ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya dahulu aku pernah mengizinkan kalian melakukan nikah mutah . Namun kini, ketahuilah bahwasanya Allah telah mengharamkannya hingga hari Kiamat tiba.”
Dengan ini, maka kesimpulannya nikah mutah itu dilarang. Mengapa? Sebab, syarat dibolehkannya nikah mutah telah dicabut oleh Allah Swt. Adapun syarat pembolehan nikah mutah dahulu karena dalam keadaan berperang.
Meskipun mayoritas ulama dan ijma sahabat, serta hadits Nabi Saw sudah sangat jelas, tetapi tetap saja ada golongan yang membolehkan nikah mutah . Adapun kelompok yang membolehkan nikah mutah adalah Syiah Imamiyah dan beberapa ulama salaf seperti Ibnu Abbas, Asma', Ibnu Mas'ud, Thawus, 'Atha, dan lain-lain.
Ulama-ulama inilah yang membolehkan nikah mutah . Namun, Ibnu Abbas tidak membolehkan nikah mutah secara mutlak-sebagaimana dikatakan oleh Syiah. Ibnu Abbas membolehkan nikah mutah dengan syarat tertentu.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kelompok yang membolehkan nikah mutah secara mutlak hanyalah Syiah, yang Syiah sampai membuat aturan khusus tentang nikah mutah seperti rukun nikah mutah , hukum yang ditimbulkannya, dan lain-lain. Lebih dari itu, para ulama fiqih dalam Mazhab Syiah Imamiyah bersepakat menyatakan bahwa nikah mutah itu batal dan tidak sah.
Dari dua pendapat tentang nikah mutah dapat disimpulkan bahwa nikah mutah pada hakikatnya adalah haram atau dilarang dan kelompok yang membolehkan secara mutlak hanyalah Syiah Imamiyah saja.
Baca juga: Jalan Hidayah Mualaf Yusuf tak Terduga, Menjatuhkan Buku Biografi Rasulullah SAW di Toko
Keempat, nikah tahlil. Maksud dari nikah tahlil adalah pernikahan yang didasari oleh perjanjian perceraian dalam waktu tertentu.
Pernikahan ini tidak murni dilandasi oleh ketakwaan kepada Allah Swt., melainkan ada tujuan atau motif tertentu di baliknya. Adapun tujuan dari nikah ini adalah bercerai. Mengapa bercerai?
Sebab, pernikahan ini dilakukan sebagai syarat agar salah satu pihak (suami atau istri) dapat kembali kepada suami/istri sebelumnya. Misalnya, seorang laki-laki menikahi wanita dengan niat akan menceraikannya setelah mencampurinya, dengan tujuan agar si wanita bisa menikah kembali dengan mantan suaminya yang lama.