REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Anggota DPRD DKI Jakarta Manuara Siahaan mengatakan, pengelolaan Taman Ismail Marzuki (TIM) perlu dikelola bersama antara PT Jakarta Propertindo (Jakpro) dan Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta (UP PKJ) yang akan berubah menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Hal itu disampaikan meski bergulir penolakan dari Forum Seniman Peduli TIM yang kekeuh agar TIM tidak dikelola oleh Jakpro lantaran sarat komersialisasi.
“Jadi memang TIM itu harus dikelola dengan baik dan pro seniman, bagaimana membuat organisasi pengelolaan TIM ini yang pro seniman, itu yang harus kita rumuskan bersama. Dengan membuat BLUD itu adalah salah satu langkah dimana nanti segmen pelayanan kepada seniman langsung di dalam kendali Pemda, tetapi segmen yang memberikan profit atau keuntungan dikelola oleh Jakpro, kira-kira seperti itu modelnya,” kata Manuara kepada Republika, baru-baru ini.
Meski menekankan nilai kepentingan seniman, Manuara menegaskan harus ada kolaborasi antara pihak seniman dengan pihak Jakpro. Secara teknis, kolaborasi itu meliputi pembagian tugas antara BLUD dan Jakpro sesuai dengan kapasitas masing-masing dalam lingkup pengelolaan lokal hingga global.
“Tetap harus ada kolaborasi, tetapi yang untuk seniman-seniman itu harus diberikan porsi yang dikelola oleh BLUD, meliputi ruang-ruang yang dibangun oleh Jakpro. Jadi pemanfaatan ruang peruntukannya untuk seniman, harus di-support oleh BLUD DKI Jakarta. Tetapi kalau event internasional itu dikelola oleh Jakpro,” tutur Politisi PDI Perjuangan itu.
Dengan adanya kolaborasi tersebut, seniman dinilai tidak akan dirugikan karena dibebani biaya yang rendah, misalkan untuk menyewa gedung pagelaran. Sementara Jakpro tetap bekerja untuk mencari profit karena telah ditugaskan melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penugasan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta-Propertindo (Perseroan Daerah) untuk Revitalisasi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.
“Karena kita kan perlu pemasukan untuk mengelola dan merawat sarana dan prasarana TIM. Dari seniman tidak dibebankan itu, tapi kita usahakan recaring income-nya dari yang dikelola oleh Jakpro. Karena kita kan perlu uang dong, kita bangun triliunan darimana uang pemeliharaan, bayar listrik, bayar AC, dan bayar pegawai,” jelas dia.
Dengan strategi itu, lanjut Manuara, ada pakem-pakem yang jelas antara kedua pihak sesuai dengan orientasinya masing-masing sehingga tidak berat sebelah. Lebih lanjut, untuk memberi keyakinan pada para seniman yang hingga saat ini masih menolak Jakpro, Manuara mengatakan perlunya subsidi bagi mereka.
“Setidak-tidaknya ada subsidi dari pemerintah karena ini adalah kepentingan seni dan budaya bangsa. Nah, besaran subsidi itulah yang mungkin akan kita dukung sehingga pembebanan terhadap seniman akan sangat kecil,” ujar dia.
Sebelumnya diketahui, Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (TIM) bertandang ke Balai Kota melakukan audiensi dengan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono pada Rabu (5/7/2023). Dalam kesempatan itu, para seniman menyatakan tetap menolak pengelolaan TIM oleh PT Jakpro karena dinilai merugikan pihak seniman.
Koordinator Forum Seniman Peduli TIM, Tatan Daniel mengungkapkan, sejak TIM dikelola oleh Jakpro, komersialisasi sangat kentara dilakukan. Penolakan atas pengelolaan TIM oleh BUMD DKI Jakarta itu pun telah mencuat sejak Jakpro ambil alih pengelolaan sekitar empat tahun yang lalu.
“Hampir empat tahun kami dari Forum Seniman Peduli TIM memperjuangkan supaya TIM tidak boleh dikuasai oleh PT Jakpro. Prinsipnya kami tetap menolak Jakpro sampai kapanpun,” kata Tatan saat ditemui Republika usai audiensi di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (5/7/2023)
Tatan menjelaskan, penolakan itu didasari pada banyaknya fasilitas di TIM yang diberi tarif mahal oleh Jakpro terhadap para seniman yang hendak menggelar acara seni dan kebudayaan. Dia mencontohkan, harga sewa Gedung Graha Bhakti Budaya yang sebelumnya-sebelum diruntuhkan- hanya di angka Rp 5 juta per hari, kini oleh PT Jakpro disebut mematok harga sewa yang melambung, bahkan hingga 40 kali lipat.
“Sekarang oleh PT Jakpro Rp200 juta per hari, dengan alasan fasilitas sudah diganti, biaya sumber daya, pajak, pemeliharaan, dan lain-lain. Tapi itu sangat tidak masuk akal, bagi kami itu tarif gila, orang gila sendiri pun bingung mikirnya, seniman mana yang bisa bayar satu hari Rp 200 juta?” ujar Tatan.
Dia mengatakan, hal bersifat komersialisasi yang dinilai tidak masuk akal itu sudah diprediksi sejak awal. Tepatnya sejak keluar Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 63 Tahun 2019. Di dalam Pergub tersebut, PT Jakpro ditugaskan melakukan pengelolaan dan perawatan prasarana dan sarana PKJ TIM dalam jangka waktu 28 tahun sejak Pergub itu diundangkan. Pergub itu ditandatangani oleh eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 2 Juli 2019 dan diundangkan pada 3 Juli 2019. Dengan demikian, pengelolaan oleh Jakpro bakal berlangsung hingga 2047.
Dalam kesempatan audiensi itu, Tatan mengaku bahwa pimpinan Pemprov DKI saat ini, yakni Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta memberikan perhatian pada para seniman mengenai masalah tersebut. Hal itu menyusul Pemprov DKI yang mengkaji pengelolaan TIM dari UP PKJ berubah BLUD.
“Idealnya ya BLUD, kan tidak dikenai pajak, kemudian dia bisa mengelola unit-unit usaha misalnya sewa kamar atau mess dan sewa gedung yang seniman sanggup bayar. Kalau BLUD dari uang yang dikelola bisa disimpan dan diputar, bisa lebih fleksibel dan tetap berfungsi sebagai pelayanan publik, tidak mencari profit. Maka ketika Pak Pj pada 16 Juni lalu menempatkan keputusan UP PKJ TIM sebagai BLUD kami menyambut baik karena itu yang kami pikirkan selama empat tahun,” ujar Tatan.