REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelombang panas mematikan yang dijuluki Cerberus saat ini sedang melanda seluruh Eropa. Suhu diperkirakan melampaui 40 derajat Celsius di beberapa bagian Spanyol, Prancis, dan Yunani. Sementara, suhu di Italia dapat mencapai 48,8 derajat Celsius.
Sejumlah kota di Italia, termasuk Roma, Bologna, dan Florence, telah mengeluarkan peringatan siaga merah karena suhunya sudah terasa tak tertahankan dan semakin meningkat. Para ilmuwan mengungkapkan penyebab dari kondisi mencemaskan tersebut.
Dikutip dari laman Daily Mail, Senin (17/7/2023), suhu yang sangat panas di Eropa didorong oleh tiga faktor utama. Itu merupakan kombinasi sistem tekanan tinggi stasioner (antiklon), perubahan iklim, dan pemanasan permukaan laut (El Nino).
Dosen perubahan iklim di University of Sussex, Melissa Lazenby, mengatakan Eropa tidak terlalu terpengaruh oleh peristiwa El Nino secara langsung, meski tetap mendapat dampaknya. "Oleh karena itu, kemungkinan sistem tekanan tinggi dan perubahan iklim yang menjadi kontributor utama peristiwa gelombang panas ini," kata Lazenby.
Dia menjelaskan bahwa menentukan pemicu dan kontribusi yang pasti terhadap gelombang panas saat ini di Eropa memerlukan studi atribusi lengkap setelah peristiwa berlalu. Metode itu akan mengilustrasikan pemicu yang tepat dan proporsi dampaknya terhadap fenomena alam.
Dosen sistem lingkungan di The Open University, Leslie Mabon, menyebutkan pula bahwa emisi karbon dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil turut andil terhadap munculnya gelombang panas. "Sampai kita bisa dengan cepat mengurangi emisi dari bahan bakar fosil, fenomena ekstrem seperti gelombang panas yang kita lihat di Eropa saat ini akan semakin mungkin terjadi," ucap Mabon.
Gelombang panas kali ini dinamai Cerberus, yakni monster berkepala tiga yang muncul di neraka Dante. Fenomena yang terjadi tidak bisa dianggap sepele, sebab efeknya bisa sangat fatal, membuat seorang pria berusia 44 tahun di Kota Lodi, Italia, meninggal dunia saat bekerja.
Banyak kota sudah terpapar suhu di atas 30 derajat Celsius, dengan rentang puncaknya tercatat di temperatur 35 sampai 37 derajat Celsius. Sementara sebagian besar benua sangat panas dan terik, ada juga negara di Eropa yang tak mengalaminya, seperti Inggris.
Pakar menjelaskan, itu karena sistem tekanan tinggi yang terjadi tidak mencakup Inggris, melainkan terletak lebih jauh ke selatan. Selain itu, Inggris tengah mengalami angin kencang yang tidak terkait dengan fitur tekanan tinggi sehingga tidak mengalami gelombang panas.
Ahli meteorologi dari tim peramalan global Met Office, Rebekah Sherwin, menambahkan pula bahwa aliran udara berkecepatan tinggi di atmosfer atau jet stream ikut berpengaruh. "Pergeseran jet stream ke selatan membuat sistem tekanan rendah mengarah ke Inggris, sehingga cuaca lebih sejuk," tutur Sherwin.
Tahun lalu, Eropa mengalami musim panas yang tercatat sebagai yang terpanas, menewaskan lebih dari 61 ribu orang di seluruh benua dan hampir 3.500 orang di Inggris. Puncaknya berlangsung antara 18-24 Juli 2022, tetapi cuaca panas bertahan sepanjang Agustus 2022.
Tahun ini, Cerberus diperkirakan berlangsung sekitar dua pekan. Namun, itu mungkin bukan akhir dari masalah cuaca Eropa. Organisasi Meteorologi Dunia memperingatkan ada kemungkinan sekitar 90 persen bahwa El Nino akan berlangsung hingga akhir tahun.
Artinya, suhu yang lebih hangat akan bertahan lebih lama. "Hal ini terjadi lebih sering, yang berarti kita akan melihat suhu sekitar 40 derajat Celsius daripada suhu normal 30-31 derajat Celsius," ujar kepala badan meteorologi dan klimatologi nasional Italia, Carlo Cacciamani.