REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR -- Mas kawin atau biasa dikenal sebagai mahar adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan oleh seorang suami kepada istri. Agama mewajibkan pemberian mahar sebagai simbol bahwa si suami memberikan penghargaan kepada istrinya, lantas apa mahar yang ideal dalam Islam?
Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama menjelaskan, mahar adalah hak mutlak si istri sendiri. Tak seorang pun selain dirinya memiliki hak untuk menggunakannya dalam keperluan apapun. Kecuali dilakukan dengan izin si istri untuk menggunakannya dalam keperluan tertentu.
Besar kecilnya mahar dalam Islam tidak ditentukan oleh agama. Mengingat bahwa manusia berbeda-beda dalam hal kekayaan dan kemiskinan, di samping perbedaan dalam hal adat istiadat masing-masing bangsa dan kelompok masyarakat.
Maka dibiarkanlah setiap calon suami menentukan jumlah mahar yang dianggap wajar, berdasarkan kesepakatan antara kedua keluarga dan sesuai dengan kemampuan keuangan serta kebiasaan masing-masing tempat. Yang terpenting dalam hal ini, dijelaskan bahwa mahar tersebut haruslah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya.
Baik berupa uang (walaupun dalam jumlah sedikit), atau sebentuk cincin (walaupun dalam bentuk sederhana) atau beberapa kilogram beras atau makanan lainnya. Atau bahkan mahar boleh ditunaikan dengan pengajaran Alquran dan sebagainya, sepanjang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak.
Pernah suatu ketika Rasulullah didatangi oleh seorang perempuan yang meminta Nabi untuk mengawini dirinya. Nabi berdiam saja menanggapi permintaan perempuan itu. Kemudian seorang laki-laki pun berkata: “Ya Rasulullah, jika kau tidak berkehendak menikahinya, maka nikahkanlah dia denganku,”.
Kemudian Rasulullah pun menanyakan kepada laki-laki itu apakah ia memiliki mahar pernikahan atau tidak. Laki-laki itu berkata: “Tidak ada yang kumiliki selain sarungku ini,”. Nabi kemudian menjawab: “Jika kauberikan sarungmu itu sebagai maharnya, engkau tidak memiliki sesuatu untuk kau kenakan. Carilah sesuatu lainnya, walau sebentuk cincin dari besi,”.
Laki-laki itu kemudian pergi sebentar dan kembali lagi sambil berkata: “Aku tidak mendapatkan sesuatu lainnya, ya Rasulullah,”. Rasulullah pun bertanya lagi: “Adakah engkau menghafal sesuatu dari Alquran (untuk diajarkan kepadanya)? Kalau begitu kukawinkan engkau dengan perempuan ini dengan mahar berupa apa yang kau hafal dari Alquran,”. Dalam beberapa riwayat hadis lainnya, redaksinya berikut: “Ajarilah dia beberapa dari Alquran,”.
Hadis di atas menunjukkan bahwa mahar dalam perkawinan tidak harus berupa uang atau benda. Namun boleh sesuatu yang memiliki manfaat seperti pengetahuan mengenai Alquran. Yang terpenting dalam hal ini adalah persetujuan dari calon istri, tidak bergantung pada sedikit atau banyaknya mahar tersebut. Ini merupakan pandangan dari madzhab Syafii.
Adapun pandangan menurut ulama madzhab Hanafi, mahar tidak boleh kurang dari 10 dirham. Sedangkan ulama dari kalangan madzhab Maliki berpendapat bahwa mahar paling sedikit adalah tiga dirham. Namun demikian pada hakikatnya, tidak ada dalil kuat yang dapat dijadikan dasar penetapan seperti itu baik dari Alquran maupun hadis Nabi SAW.
Demikian pula, tidak ada batas maksimum bagi banyaknya mahar. Sayyidina Umar pernah berpidato dan melarang pemberian mahar lebih dari 400 dirham. Namun ketika selesai mengucapkan pidatonya, seorang perempuan Quraisy menyanggahnya.
Perempuan itu berkata: “Tidakkah engkau (Sayyidina Umar) mendengar firman Allah? (Yakni) jika kamu ingin menceraikan istrimu lalu menggantinya dengan yang lain, sedangkan kamu telah memberinya harta (mahar) sebanyak satu qinthar (harta yang sangat banyak), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun,”.