Senin 17 Jul 2023 15:56 WIB

Sidang Haris-Fatia, Saksi Ahli Pidana Soroti Soal Cara Penyampaian Pendapat

Dalam sidang Haris-Fatia, saksi ahli pidana menyoroti soal cara penyampaian pendapat.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar (kanan) bersama terdakwa Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti (kiri). Dalam sidang, saksi ahli pidana menyoroti soal cara penyampaian pendapat.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar (kanan) bersama terdakwa Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti (kiri). Dalam sidang, saksi ahli pidana menyoroti soal cara penyampaian pendapat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang lanjutan kasus pencemaran nama baik dengan terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanty kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Senin (17/7/2023). Agenda sidang itu, yakni Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan dua saksi ahli.

Saksi yang dihadirkan, yaitu ahli digital forensik Herry Priyanto, dan ahli pidana Agus Surono. Agus mendapatkan kesempatan pertama untuk memberikan kesaksiannya.

Baca Juga

Dalam persidangan, jaksa sempat menanyakan pendapat Agus mengenai lingkup makna kritik yang dilihat melalui UU ITE. Agus menyebut, dalam undang-undang tersebut, tidak secara spesifik mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kritik.

"Tapi pada prinsipnya saya mau menyampaikan dalam sidang ini adalah bahwa kebebasan dalam memberikan pendapat itu pada hakekatnya dilindungi oleh konstitusi kita, oleh UU kita," kata Agus dalam persidangan.

Dia mengatakan, setiap orang bebas memberikan pendapat maupun kritik. Namun, menurut dia, yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara menyampaikannya.

"Persoalannya bagaimana cara menyampaikan pendapat itu, jadi penyampaian pendapat itu dibebaskan, bebas siapapun menyampaikan pendapat dan kritik. Bahkan, saya juga sering mengkritik. Tapi saya sampaikan tentu dengan kaidah-kaidah kesopanan dan seterusnya," ungkap Agus.

"Artinya, jangan sampai kritik yang membangun tadi justru bertentangan dengan hukum," tambah dia menjelaskan.

Agus menjelaskan, dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE terjadi perubahan rumusan norma yang berkaitan dengan kualifikasi delik. Dia menyebut, perubahan itu, yakni dari delik biasa menjadi delik aduan.

"Adanya delik aduan ini sebenarnya untuk melakukan satu perlindungan juga kepada mereka yang ingin menyampaikan kritik. Kritik yang sifatnya membangun kepada siapapun juga," ujar Agus.

"Ini yang saya kira harus kita catat penerapan pasal 27 ayat 3 itu berubah jadi delik aduan bukan delik biasa lagi. Sehingga harus menunggu adanya suatu aduan dari pihak korban yang merasa dirugikan atas adanya suatu perbuatan yang dikualifikasi dalam pencemaran ataupun penghinaan sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat 3 tadi," sambung dia.

Sebelumnya, Haris dan Fatia didakwa mengelabui masyarakat dalam mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Hal itu disampaikan tim JPU yang dipimpin oleh Yanuar Adi Nugroho saat membacakan surat dakwaan.

Dalam surat dakwaan JPU menyebutkan anak usaha PT Toba Sejahtera yaitu PT Tobacom Del Mandiri pernah melakukan kerja sama dengan PT Madinah Quarrata’ain, tapi tidak dilanjutkan. PT Madinah Quarrata’ai disebut Haris-Fatia sebagai salah satu perusahaan di Intan Jaya yang diduga terlibat dalam bisnis tambang.

Dalam kasus ini, Haris Azhar didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 UU ITE dan Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Sedangkan Fatia didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE, Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 KUHP tentang penghinaan.

Kasus ini bermula dari percakapan antara Haris dan Fatia dalam video berjudul \"Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam\" yang diunggah di kanal YouTube Haris Azhar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement