REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR, Guspardi Gaus menilai, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja telah mengeluarkan pernyataan yang di luar kewenangannya ketika mengusulkan penundaan gelaran Pilkada 2024.
Guspardi mengatakan, ketika Bagja menyebut potensi gangguan keamanan sebagai alasan satu dasar perlunya pilkada ditunda, berarti dia telah mengomentari ranah kerja Polri. "Jadi Bawaslu offside," ujarnya lewat keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (18/7/2023).
Anggota Komisi II DPR itu juga merasa terkejut, Bagja mengusulkan penundaan pilkada. Pasalnya, Bagja ikut terlibat dan tak pernah keberatan ketika Komisi II DPR bersama pemerintah dan lembaga penyelenggara pemilu menetapkan 27 November 2024 sebagai hari pencoblosan Pilkada Serentak 2024.
Selain itu, gelaran pilkada secara serentak pada bulan November 2024 merupakan amanat UU Pilkada. Legislator asal Sumatra Barat tersebut menilai, usul penundaan pilkada ini merupakan wacana berbahaya. Pasalnya, penundaan akan memperpanjang masa jabatan penjabat (pj) gubernur, bupati, dan wali kota.
Alhasil, masyarakat akan semakin lama dipimpin oleh orang yang tidak punya otoritas penuh membuat kebijakan. "Ini sudah pasti akan mempengaruhi jalannya roda pemerintahan. Karena kewenangan penjabat terbatas, sedangkan kepala daerah hasil pilkada punya legitimasi," kata Guspardi.
Dia pun meminta Bagja fokus menjalankan tugas mengawasi penyelenggara, peserta Pemilu dan pelaksanaan Pemilu 2024. Bagja diminta untuk berhenti membuat kegaduhan di tengah masyarakat karena hanya akan menimbulkan spekulasi di tengah masyarakat.
Sebelumnya, Ketua Bawaslu RI Bagja mengusulkan agar semua pihak terkait mulai membahas opsi menunda gelaran Pilkada Serentak 2024. Hal itu disampaikan dalam rapat koordinasi kementerian dan lembaga negara yang diselenggarakan Kantor Staf Presiden (KSP) bertemakan Potensi dan Situasi Mutakhir Kerawanan Pemilu Serta Strategi Nasional Penanggulangannya di Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Bagja mengusulkan penundaan karena ada sejumlah masalah besar yang berpotensi terjadi apabila Pilkada Serentak dilaksanakan sesuai jadwal pada 27 November 2024. Masalah pertama adalah pelaksanaan tahapan pilkada beririsan dengan pelaksanaan tahapan Pemilu 2024.
"Kami khawatir sebenarnya Pilkada 2024 ini karena pemungutan suara pada November 2024 yang mana Oktober baru pelantikan presiden baru. Tentu dengan menteri dan pejabat yang mungkin berganti," kata Bagja, dikutip dari laman resmi Bawaslu RI.
Permasalahan kedua, kata Bagja, adalah potensi gangguan keamanan yang tinggi dalam gelaran Pilkada Serentak 2024 yang digelar di semua provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan aparat tidak bisa diperbantukan ke daerah yang sedang mengalami gangguan keamanan, karena aparat fokus menjaga daerah masing-masing yang juga sedang menggelar pilkada.
"Kalau sebelumnya, misalnya pilkada di Makassar ada gangguan keamanan, bisa ada pengerahan dari polres di sekitarnya atau polisi dari provinsi lain. Kalau Pilkada 2024 tentu sulit karena setiap daerah siaga yang menggelar pemilihan serupa," ujarnya.
Usul Bagja itu dikritik banyak kalangan mulai dari organisasi pemerhati pemilu, partai politik, hingga anggota DPR RI. Setelah ramai, Bagja enggan memberikan penjelasan lebih lanjut terkait usulan tersebut. Dia menyebut, usulan itu hanya sebatas bahasan dalam diskusi bersama KSP, bukan usulan resmi Bawaslu RI.