REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) bersama Yayasan Indonesia Cerah meluncurkan riset terbaru terkait rencana pemerintah untuk memulai program pensiun dini PLTU batu bara. Hasil riset tersebut menunjukkan banyak pemerintah daerah (pemda) yang belum siap dalam melakukan transisi energi karena minimnya keterlibatan otoritas daerah.
Ekonom sekaligus Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan, rencana peluncuran rencana tindak lanjut pendanaan transisi energi atau JETP (Just Energy Transition Partnership) pada 16 Agustus 2023 mendatang perlu melibatkan berbagai unsur salah satunya pemerintah daerah.
“Risiko dari belum siapnya Pemda dalam melaksanakan transisi energi akan menciptakan tekanan pada sektor tenaga kerja, dan pendapatan masyarakat yang bergantung pada rantai pasok PLTU,” kata Bhima, dikutip Republika.co.id, Rabu (19/7/2023).
Sebagai contoh, terdapat sekitar 4.666 pekerja langsung baik tetap dan tidak tetap yang akan terdampak penutupan PLTU batu bara di Langkat, Cilacap, dan Probolinggo. Jumlah tersebut belum termasuk pekerja tidak langsung yakni para pelaku UMKM yang berada di sekitar lokasi PLTU, serta pekerja di lokasi sumber batu bara.
Bhima menambahkan, studi yang dilakukan di tiga provinsi yakni Provinsi Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur itu menyimpulkan, Pemda belum aktif dilibatkan dalam agenda JETP khususnya pada tahap transisi pekerja yang langsung terdampak, dan pekerja sektor UMKM di sekitar lokasi PLTU.
“Bahkan dampak pensiun PLTU batubara yang berakibat pada potensi pendapatan daerah yang hilang pascapensiun PLTU belum disiapkan potensi pengganti nya. Hal ini berakibat pada poin transisi berkeadilan atau ‘Just’ yang diusung JETP menjadi pertanyaan,” ujarnya.
Peneliri Celios, Muhammad Saleh, mengungkapkan sebagian besar Pemda yang menjadi objek penelitian belum tahu dan tidak dilibatkan dalam kebijakan transisi energi JETP.
“Secara spesifik Pemda bahkan belum mengetahui keberadaan Perpres Nomor 11 Tahun 2023 tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral pada sub-Bidang Energi Baru Terbarukan,” ujar Saleh.
Hingga kini, Pemda belum memiliki kerangka regulasi pelaksana peraturan tersebut. Selain itu Pemda menyatakan kerangka regulasi yang ada belum mampu menjawab kebutuhan transisi energi.
Saleh menambahkan, pemda idealnya mulai mempersiapkan jaminan perlindungan materiil kepada masyarakat pasca penutupan PLTU. Artinya, ketika PLTU batu bara dipensiunkan maka masyarakat yang kehilangan pendapatan tetap mendapat kompensasi berupa peralihan ke profesi lainnya.
Peneliti Celios, Muhammad Andri Perdana, menambahkan, pada aspek pendapatan dan anggaran daerah (PAD), ada potensi hilang dari pemensiunan dini PLTU dengan kisaran 1,2 persen hingga 6,4 persen dari keseluruhan PAD. Di mana, itu juga bergantung pada besarnya kapasitas PLTU batubara di masing-masing daerah.
“Namun potential loss PAD ini dapat dimitigasi dengan melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat atas kenaikan nilai Dana Transfer ke Daerah serta mendorong komitmen investasi energi bersih sebagai pengganti sumber penghasilan daerah yang hilang,” ujar dia.
Adapun dari sisi aspek ketenagakerjaan, pemerintah daerah juga dapat mendorong adanya program upskilling dan reskilling atau peningkatan keahlian tenaga kerja yang terdampak. Hal itu seperti dilakukan pada lokasi pensiun dini PLTU di program JETP Afrika Selatan.
Sementara, pada aspek perputaran ekonomi UMKM, studi CELIOS menemukan bahwa dampak langsung keberadaan PLTU meski kecil terhadap ekonomi sektor informal, namun perlu mendapat perhatian dari skema JETP.