REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Uni Eropa (UE) mengatakan pada hari Selasa (18/7/2023), bahwa perdagangan budak di masa lalu di Eropa menyebabkan "penderitaan yang tak terhitung" pada jutaan orang di beberapa negara jajahan. Atas kesalahan masa lalu itu, Uni Eropa mengisyaratkan perlunya reparasi atau upaya ganti rugi, atas "kejahatan terhadap kemanusiaan" tersebut.
Dari abad ke-15 hingga abad ke-19, setidaknya 12,5 juta orang Afrika diculik dan diangkut secara paksa oleh kapal-kapal Eropa dan dijual sebagai budak. Untuk wilayah Amerika Latin, hampir setengahnya dibawa oleh Portugal ke Brasil.
Gagasan untuk membayar reparasi atau melakukan perbaikan lain untuk perbudakan memiliki sejarah yang panjang, tetapi gerakan ini mendapatkan momentum di seluruh dunia. Para pemimpin Uni Eropa dan Komunitas Negara-negara Amerika Latin dan Karibia (CELAC) bertemu di Brussels pekan ini untuk mengadakan pertemuan puncak selama dua hari.
Ketika acara dimulai pada hari Senin (17/7/2023), Ralph Gonsalves, perdana menteri Saint Vincent dan Grenadines, pemegang jabatan kepresidenan CELAC saat ini, mengatakan bahwa ia ingin pernyataan akhir KTT tersebut mencakup bahasa tentang "warisan historis genosida penduduk asli dan perbudakan terhadap tubuh-tubuh orang Afrika" dan "keadilan reparatoris",
"Namun beberapa pemerintah Eropa mewaspadai bahasa yang diusulkan mengenai reparasi," kata para diplomat dilansir dari Reuters, Rabu (19/7/2023).
Uni Eropa dan CELAC menyepakati satu paragraf yang mengakui dan "sangat menyesalkan" penderitaan yang "tak terhitung yang dialami jutaan pria, wanita dan anak-anak sebagai akibat dari perdagangan budak trans-Atlantik".
Dikatakan bahwa perbudakan dan perdagangan budak trans-Atlantik merupakan "tragedi yang mengerikan ... tidak hanya karena kebiadaban yang menjijikkan, tetapi juga dalam hal besarnya" jumlah perbudakan. Perbudakan adalah "kejahatan terhadap kemanusiaan", kata Gonsalves.
Dalam pernyataan tersebut, yang diadopsi oleh para pemimpin kedua belah pihak, CELAC merujuk pada rencana reparasi 10 poin oleh Komunitas Karibia (CARICOM), yang, di antara langkah-langkah lainnya, mendesak negara-negara Eropa untuk secara resmi meminta maaf atas perbudakan.
Rencana tersebut menuntut program repatriasi yang akan memungkinkan orang untuk pindah ke negara-negara Afrika jika mereka menginginkannya dan dukungan dari negara-negara Eropa untuk mengatasi kesehatan masyarakat dan krisis ekonomi. Rencana ini juga menuntut penghapusan utang dari negara di wilayah Latin dan Karibia.
Komisi reparasi CARICOM "melihat viktimisasi rasial yang terus-menerus terhadap keturunan perbudakan dan genosida sebagai akar penyebab penderitaan mereka saat ini", kata rencana tersebut.
Awal bulan ini, Raja Belanda Willem-Alexander meminta maaf atas keterlibatan bersejarah Belanda dalam perbudakan di wilayah jajahan Belanda. Dan pada bulan April Raja Charles memberikan dukungannya terhadap penelitian yang akan memeriksa hubungan kerajaan Inggris dengan perbudakan.
Di Portugal, Presiden Marcelo Rebelo de Sousa mengatakan bahwa negaranya harus meminta maaf atas perannya dalam perdagangan budak trans-Atlantik, namun para kritikus mengatakan bahwa permintaan maaf saja tidak cukup dan langkah-langkah praktis sangat penting untuk mengatasi masa lalu.