REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Apresiasi dolar AS yang didorong oleh risiko keuangan global tahun lalu berdampak negatif lebih keras, terutama untuk aktivitas ekonomi dan impor, pada ekonomi pasar negara berkembang daripada negara maju, begitu kata Dana Moneter Internasional (IMF), Rabu (19/7/2023).
Dalam External Sector Report tahunannya, IMF mengatakan, nilai tukar riil efektif dolar naik 8,3 persen pada 2022 ke level terkuat dalam dua dekade. Hal itu terjadi di tengah serangkaian kenaikan suku bunga Federal Reserve untuk mengendalikan inflasi, juga di tengah harga-harga komoditas global yang melambung akibat konflik Ukraina.
Dampak negatif apresiasi dolar terhadap sektor riil turun secara tidak proporsional di pasar negara berkembang, sementara terhadap ekonomi maju dampaknya terbilang kecil dan singkat.
Di ekonomi pasar negara berkembang, apresiasi dolar 10 persen menurunkan produksi produk domestik bruto (PDB) sebesar 1,9 persen setelah satu tahun. Menurut IMF, hambatan ini akan bertahan selama dua setengah tahun.
Sebaliknya, efek negatif pada ekonomi negara maju jauh lebih kecil, dengan pengurangan output memuncak pada 0,6 persen setelah satu kuartal dan hilang dalam setahun.
Banyak ekonomi pasar negara berkembang juga mengalami peningkatan kredit macet, berkurangnya arus masuk modal, kebijakan moneter yang lebih ketat, dan penurunan pasar saham yang lebih besar. "Emerging markets dan ekonomi negara berkembang dengan kerentanan yang sudah ada sebelumnya seperti inflasi tinggi dan posisi eksternal yang tidak selaras mengalami depresiasi mata uang yang lebih besar, sementara ekonomi pengekspor komoditas mendapat manfaat dari kenaikan harga-harga komoditas," kata IMF.
Laporan IMF juga menunjukkan bahwa apresiasi dolar memiliki dampak nyata pada pertumbuhan ekonomi global. Hal itu tecermin dalam neraca transaksi berjalan global.
Menurut penilaian IMF, apresiasi dolar 10 persen dikaitkan dengan penurunan neraca transaksi berjalan global sebesar 0,4 persen dari PDB dunia setelah satu tahun. Penurunan sebesar itu "signifikan secara ekonomi," kata IMF, karena rata-rata neraca global selama dua dekade terakhir adalah sekitar 3,5 persen dari PDB dunia, dengan standar deviasi 0,7 persen.
Penurunan neraca global mencerminkan kontraksi berbasis luas dalam perdagangan dengan adanya harga mata uang yang dominan, yang difasilitasi oleh penyempitan neraca perdagangan komoditas, mengingat penurunan harga komoditas yang secara historis menyertai apresiasi dolar.
IMF menyatakan bahwa nilai tukar yang lebih fleksibel dan ekspektasi inflasi yang lebih kuat dapat mengurangi dampak negatif ke pasar negara berkembang. IMF merekomendasikan agar negara-negara pasar berkembang bergerak menuju nilai tukar yang fleksibel dengan mengembangkan pasar keuangan domestik yang mengurangi sensitivitas pinjaman terhadap nilai tukar, dan berkomitmen untuk meningkatkan kerangka fiskal dan moneter, termasuk kemandirian bank sentral, untuk membantu menjangkarkan ekspektasi inflasi.