REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim memuji resolusi Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHRC) sebagai respons terkait izin aksi pembakaran Al Quran di luar masjid pusat Stockholm, Swedia, saat perayaan Hari Raya Idul Adha 1444 Hijriah.
Resolusi UNHRC menentang kebencian terhadap agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.
Dalam pernyataan media yang diakses dari Kuala Lumpur, Jumat, tersebut, Anwar juga menyayangkan bahwa di setiap langkah progresif yang diambil melawan Islamofobia, ada api kebencian menyala di antara mereka yang bersembunyi di balik topeng kebebasan berbicara dan berekspresi, seperti yang ditunjukkan oleh negara-negara anggota yang berbeda pendapat.
Ia mengatakan penggunaan kebebasan berbicara sebagai tameng tanpa rasa malu, sangat rentan disalahgunakan untuk membenarkan kebencian dan kekejaman daripada menentang tirani.
Sama halnya dengan penolakan terhadap totaliterisme ekstrem, menurut dia, sebuah gagasan kebebasan ekstrem adalah kesetaraan yang merugikan masyarakat, yang dapat menyebabkan pelanggaran terhadap hak orang lain untuk dapat hidup dan selamat.
Anwar mengatakan Islamofobia adalah racun yang mengancam negara-negara Barat seperti halnya mengancam Muslim di berbagai negara manapun mereka tinggal. Itu sebuah kontradiksi, bersamaan dengan semua kebencian yang tidak masuk akal dan xenofobia, dalam mencapai tujuan berbagi masyarakat bersama.
"Kita tidak dapat menyelesaikan setiap isu dengan membakar dan menodai kitab masing-masing, melainkan dengan membacanya dan berdialog," ujar Anwar.
Pada Rabu (12/7), UNHRC mengadopsi sebuah resolusi mengecam insiden baru-baru ini yakni pembakaran Al Quran, meskipun banyak negara memilih tidak mendukung resolusi tersebut karena takut itu dapat melanggar kebebasan berbicara.
Dari 47 anggota dewan, 28 di antaranya mendukung resolusi, sedangkan 12 negara lainnya memilih menentang dan tujuh negara anggota abstain.