REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Para aktivis Rohingya di Bangladesh menyerukan kepada masyarakat internasional untuk meningkatkan tekanan terhadap Myanmar menyusul seruan baru di PBB untuk repatriasi yang aman dan berkelanjutan bagi kelompok minoritas, yang teraniaya tersebut kembali ke tanah air mereka.
Muslim Rohingya dan minoritas lainnya di Myanmar telah mengalami diskriminasi dan penganiayaan sistematis selama puluhan tahun. Termasuk tindakan keras junta militer pada tahun 2017, yang menewaskan ribuan orang dan membuat ratusan ribu orang mengungsi dari Negara Bagian Rakhine.
Awal bulan ini, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengadopsi sebuah resolusi tentang situasi hak asasi manusia Rohingya dan minoritas Myanmar lainnya. Ini merupakan resolusi terbaru yang menyerukan kepada pemerintah di Naypyidaw untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk repatriasi yang sukarela, aman, bermartabat, dan berkelanjutan.
"Untuk memastikan repatriasi yang berkelanjutan, harus ada lebih banyak tekanan dari berbagai pihak oleh komunitas internasional terhadap pemerintah Myanmar," kata Mohammed Rezuwan Khan, seorang aktivis hak asasi manusia Rohingya di Cox's Bazar, kepada Arab News, Sabtu (22/7/2023).
"Kami semua orang Rohingya sangat ingin kembali ke tanah air kami. Namun harus ada situasi yang kondusif di Rakhine. Dalam situasi saat ini, jika kami kembali, pemerintah Myanmar akan menganiaya kami lagi," ujarnya.
Khan adalah salah satu dari lebih dari satu juta orang Rohingya yang mendekam di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh. Ia bersama banyak warga pengungsi Rohingya lain, selama bertahun-tahun telah menjadi tuan rumah dan memberi mereka dukungan kemanusiaan meskipun tidak menandatangani Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951.
Negara berkembang ini menghabiskan sekitar 1,2 miliar dolar AS, per tahun untuk mendukung Rohingya, karena bantuan internasional untuk komunitas ini telah menurun sejak tahun 2020. Program Pangan Dunia PBB bahkan memotong jatah makanan untuk kelompok tersebut pada awal tahun ini, karena permintaan mereka untuk donasi tidak terpenuhi.
Komunitas Rohingya di Cox's Bazar menderita, karena ketidakjelasan nasib mereka mencari kepastian, tentang masa depan mereka, kata Khan. "Jika kami dipaksa untuk tinggal di sini untuk waktu yang lebih lama, maka akan menciptakan generasi Rohingya yang hilang," ujarnya, menyinggung tentang kurangnya kesempatan pendidikan dan pekerjaan bagi masyarakat.
"Rohingya di Myanmar juga merasa mereka tidak cukup aman," kata Khan, sementara mereka yang berada di Bangladesh juga merasa tidak aman karena meningkatnya kejahatan di kamp-kamp pengungsian. "Rasa tidak aman selalu menghantui kami di sini," kata Khan.
"Saya tidak tahu kapan saya akan dibunuh oleh siapa; itulah sebabnya kami tidak ingin terus tinggal di sini. Kami memohon kepada komunitas internasional untuk memastikan solusi yang berkelanjutan untuk krisis Rohingya ini," ujarnya.
Semakin banyak orang Rohingya yang mengambil risiko perjalanan laut menggunakan perahu yang berbahaya untuk meninggalkan Bangladesh menuju negara-negara seperti Malaysia dan Indonesia. Pada tahun 2022, lebih dari 3.500 orang mencoba melakukan penyeberangan laut yang berbahaya, menurut UNHCR.
Meskipun ada berbagai rencana bagi Rohingya untuk kembali ke Myanmar selama bertahun-tahun, tidak ada kemajuan praktis yang dibuat. Upaya terakhir terjadi pada bulan Mei, yang melibatkan para pemimpin komunitas pengungsi dan pejabat Bangladesh yang mengunjungi Negara Bagian Rakhine untuk menilai kemungkinan repatriasi.
Mohammad Jubaer, ketua Masyarakat Rohingya Arakan untuk Perdamaian dan Hak Asasi Manusia di Cox's Bazar, menyoroti pentingnya akuntabilitas. Masyarakat internasional, menurut dia, harus memastikan beberapa masalah akuntabilitas seperti martabat, keamanan, dll.
"Di tempat di mana kami akan tinggal di Myanmar, itu harus menjadi zona aman yang dijaga oleh komunitas internasional. Jika tidak, pihak berwenang Myanmar akan kembali mengirim kami secara paksa ke Bangladesh seperti sebelumnya," kata Jubaer kepada Arab News.
"Ini bukan hanya masalah penganiayaan terhadap Rohingya. Semua kelompok etnis minoritas lainnya di Myanmar harus dilindungi," katanya.
"Masyarakat internasional harus memberikan tekanan lebih besar kepada Myanmar untuk memastikan hal ini."
Negara-negara maju dan organisasi antar pemerintah memikul tanggung jawab etis dalam hal isu Rohingya, kata Mohammed Nur Khan, seorang aktivis hak asasi manusia dan pakar migrasi Bangladesh.
"Karena mereka berada dalam posisi yang lebih maju dalam hal situasi politik dan keuangan, maka secara etis, tanggung jawab lebih banyak dibebankan kepada mereka. Pertama, mereka dapat membuka pintu diskusi di platform PBB. Hal ini sangat penting," kata Khan kepada Arab News.
"Kedua, mereka dapat memaksa junta Myanmar untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dengan melakukan pendekatan yang berbeda seperti menjatuhkan sanksi ekonomi dan lainnya. Komunitas internasional harus melibatkan platform regional seperti ASEAN secara lebih aktif," katanya.
Khan mengatakan bahwa resolusi PBB terbaru dapat memicu lebih banyak upaya dari pemerintah Myanmar untuk memperbaiki situasi di Negara Bagian Rakhine, namun ia tidak yakin resolusi tersebut dapat menciptakan lingkungan yang benar-benar kondusif bagi Rohingya.
Resolusi PBB tersebut muncul setelah kunjungan sejumlah pejabat tinggi ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh, termasuk Sekretaris Jenderal OKI Hissein Brahim Taha dan Ketua Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional Karim Khan.
"Namun hal ini harus dilakukan, meskipun membutuhkan waktu. Tanpa memastikan hal ini, tidak akan menjadi keputusan yang tepat bagi kita untuk memulangkan Rohingya. Saya rasa situasi saat ini di Rakhine tidak mendukung untuk memastikan lingkungan yang aman bagi siapa pun."