Sabtu 22 Jul 2023 21:46 WIB

Apa Penyebab Aksi Premanisme Mahasiswa di Mesir Berulang?

Aksi kekerasan biasanya dipicu kegiatan organisasi kekeluargaan mahasiswa

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Aksi kekerasan antara mahasiswa Indonesia di Mesir kembali berulang
Foto: pixabay
Aksi kekerasan antara mahasiswa Indonesia di Mesir kembali berulang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi kekerasan antara mahasiswa Indonesia di Mesir kembali berulang. Aksi ini menyedot perhatian publik yang cukup besar, apa sebetulnya penyebab yang memicu kejadian serupa bisa terulang?

Alumni Al Azhar Mesir yang juga pernah mendampingi kasus kekerasan mahasiswa pada 1993, Achmad Sudrajat, menyampaikan rasa keprihatinannya terhadap aksi premanisme oleh mahasiswa Indonesia di Mesir. Menurut dia, kejadian-kejadian seperti biasanya dipicu oleh kegiatan organisasi kekeluargaan mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir).

"Saya sangat prihatin dan menyayangkan perilaku tersebut. Kejadian-kejadian seperti ini biasanya dipicu oleh kegiatan organisasi kekeluargaan di Masisir," kata Adjad saat dihubungi Republika, Sabtu (22/7/2023).

Dia menyebut, kejadian kekerasan itu biasanya terjadi menjelang 17 Agustus atau ketika ada perhelatan olahraga dan budaya. Dari sanalah biasanya timbul gesekan-gesekan yang tadinya mengusung nilai-nilai persaudaraan dan sportifisme, justru berujung ricuh.

"Nah itu pernah terjadi ketika saya di Mesir sekitar era 1993/1994-an. Itu pun dipicu oleh pertemuan kegiatan olahraga, berujung ricuh," kata dia.

Selain faktor tersebut, Adjad juga menyampaikan bahwa pemicu lainnya bisa disebabkan dengan adanya perbedaan budaya. Yang mana para mahasiswa Indonesia di Mesir tidak belajar dan memaknai budaya universal dan seolah-olah mereka masih berada di negaranya dengan orang-orang daerahnya.

Dengan latar belakang demikian, dia menilai dampaknya para mahasiswa Indonesia di Mesir kurang bisa menghormati tradisi dan adat budaya lain.

"Mungkin punya karakter keras, ada provokator yang menimbulkan kebersamaan yang tidak baik, sehingga pecah dan menimbulkan konflik. Ini yang harus kita rapikan," ujar dia.

Ditambah, lanjut Adjad, dapat dimungkinkan bahwa mahasiswa Indonesia yang keluar negeri belum tentu mengerti karakteristik budaya negara orang berada, ataupun dari kampungnya masih merasa lingkungannya mayoritas orang Indonesia.

Sebab, dia menjelaskan, mayoritas mahasiswa Indonesia yang berada di sana biasanya tinggal bersama orang Indonesia yang sama-sama orang daerahnya. Sehingga suasana yang mereka dapatkan masih suasana lokal Indonesia yang menyebabkan pemahaman terhadap budaya orang lain belum terlalu terasa.

"Hampir setiap event dan pertemuan pascaacara kenasionalan, selalu ada sisipan-sisipan kekisruhan. Ini apabila tidak diantisipasi maka akan melebar," kata dia.

Mencegah secara holistik

Adjad menjelaskan, langkah-langkah strategis perlu disusun untuk mencegah dan melakukan antisipasi terhadap kejadian serupa berulang. Hal ini dinilai perlu dilakukan mulai dari hulu ke hilir.

"Mulai dari pesantren-pesantren yang mengirimkan santrinya ke sana, harus lakukan sosialisasi tentang budaya dan akhlak. Kemudian dari Kemenag, mungkin, sebelum berangkat mereka harus mendapatkan pembinaan tentang keindonesiaan. Karena masih ada juga mahasiswa yang tidak bisa bahasa indonesia, nah ini kan repot. Sosialisasi dan pembinaan ini masih minim, maka harus diratakan agar semuanya dapat," kata dia.

Karena ini prosesnya melalui satu pintu yakni dari Kementerian Agama, dia menilai bahwa uji ke depan itu harus diperketat lagi tentang pengetahuan dan tata krama di kampus tertua yang menjunjung tinggi peradaban dan etika. Adapun ketika sampai di sana, pihak KBRI juga perlu mengambil sikap.

"Ya mungkin pihak kedutaan (KBRI) kita mungkin juga sudah melakukan (langkah antisipatif) ya, dengan sejumlah organisasi perkumpulan mahasiswa, mereka sudah menyiapkan program-program. Tapi lagi-lagi mereka masih terbiasa hidup dengan teman-teman daerahnya, ini yang sulit," kata Adjad.

Adjad menambahkan bahwa peran ketua pelajar dan juga ketua daerah di sana perlu menguatkan kembali sosialisasi tentang sosial kemasyarakatan dan tata kelola undang undang. Adapun dari internal kampus, dia menilai diperlukan briefing dari Al Azhar yang dinilai masih sangat jarang.

Dia mengatakan bahwa pembinaan kepada mahasiswa Indonesia hanya dilakukan di awal-awal dan itu pun hanya dilakukan kepada mahasiswa-mahasiswa yang memperoleh beasiswa Al Azhar. Adapun mahasiswa yang datang dengan terjun dengan biaya sendiri mereka dalam pembinaannya tidak mendapatkan pembinaan yang optimal.

"Mahasiswa yang dikirim dari PBNU selalu kami koordinasikan agar mereka tetap taat pada aturan organisasi negara. Jadi dari hulu ke hilir harus diperhatikan. Kemenag dan Kemlu juga harus kembali melihat tata kelola dengan sebaik-baiknya," ujar dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement