Ahad 23 Jul 2023 12:04 WIB

Makan Daging Ternyata tidak Ramah Lingkungan, Kok Bisa?

Pilihan pola makan kita berdampak besar pada lingkungan dan planet kita.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Natalia Endah Hapsari
Para peneliti percaya bahwa mengurangi jumlah daging yang dimakan dapat sangat membantu planet ini/ilustrasi
Foto: Republika/Gumanti
Para peneliti percaya bahwa mengurangi jumlah daging yang dimakan dapat sangat membantu planet ini/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semakin banyak studi yang menyarankan warga dunia untuk mengurangi makan daging demi keberlangsungan planet Bumi. Deretan studi sebelumnya juga telah menyoroti manfaat kesehatan dari pengurangan pola makan hewani.

Para pakar dalam studi terkini mengungkap bahwa makan 100 gram daging per hari menciptakan gas rumah kaca empat kali lebih banyak dibandingkan pola makan vegan. Studi dipimpin para ahli dari proyek Livestock, Environment, and People (LEAP) di University of Oxford.

Baca Juga

"Pilihan pola makan kita berdampak besar pada planet ini," kata penulis utama studi, Peter Scarborough, yang merupakan profesor kesehatan populasi di Nuffield Department of Primary Care Health Sciences Oxford, dikutip dari laman Daily Mail, Ahad (23/7/2023).

Scarborough dan timnya menganalisis data dari lebih dari 38.000 peternakan di 100 negara. Hasilnya menunjukkan bahwa pola makan daging yang tinggi memiliki dampak terbesar bagi banyak indikator lingkungan yang penting, termasuk perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Peternakan hewan berkontribusi terhadap pemanasan global karena emisi metana, dinitrogen oksida, juga karbon dari ternak dan rantai pasokannya. Terlebih lagi, penggundulan hutan untuk memberi ruang bagi peternakan mengurangi jumlah pohon yang menyerap karbon dioksida.

Para penulis menekankan perlunya perubahan pola makan jika warga Bumi ingin tetap berada dalam batas lingkungan yang aman untuk emisi gas rumah kaca. Jika emisi terlalu tinggi, permukaan laut terus meninggi dan suhu memanas yang mengancam kehidupan di Bumi.

Untuk penelitian tersebut, Profesor Scarborough dan rekannya juga menghubungkan data pola makan dari 55.504 orang dengan data dampak lingkungan dari makanan yang mereka makan. Individu yang mengisi kuesioner frekuensi makanan adalah pemakan daging, vegetarian, vegan, atau pescatarian.

Pemakan daging dipisahkan menjadi tiga kategori tergantung kebiasaan makannya. Ada kategori diet tinggi daging (rata-rata makan lebih dari 100 gram daging per hari), diet daging sedang (antara 50 gram dan 100 gram), atau diet rendah daging (kurang dari 50 gram).

Informasi makanan itu dikaitkan dengan data tingkat makanan tentang emisi gas rumah kaca, penggunaan lahan, penggunaan air, dan potensi hilangnya keanekaragaman hayati. Begitu juga risiko eutrofikasi, peningkatan CO2 di perairan yang menyebabkan kematian ikan.

Para peneliti menemukan bahwa pola makan vegan berdampak pada emisi gas rumah kaca sebesar 25 persen dari pola makan daging. Ini berarti makan 100 gram daging per hari atau lebih rata-rata menghasilkan gas rumah kaca empat kali lebih banyak daripada menjadi vegan.

Dampak pola makan vegan adalah 25,1 persen untuk penggunaan lahan, 46 persen untuk penggunaan air, 27 persen untuk eutrofikasi, dan 34 persen untuk keanekaragaman hayati, jika dibandingkan dengan pola makan daging. Menariknya, para peneliti melihat perbedaan 30 persen antara pola makan tinggi daging dan pola makan rendah daging untuk sebagian besar ukuran kerusakan lingkungan.

Secara substansial, para peneliti percaya bahwa mengurangi jumlah daging yang dimakan dapat sangat membantu planet ini, bahkan jika tidak sepenuhnya berhenti makan daging. Namun, pola makan vegan secara konsisten ditemukan sebagai pola makan terbaik bagi lingkungan.

Studi baru tersebut diterbitkan dalam jurnal Nature Food. "Jika ingin mencapai target pengurangan karbon, maka berbagai kemajuan harus dilakukan di semua sektor, termasuk menerapkan langkah mendorong konsumen mengubah pola makan," ungkap peneliti.

Sejauh ini, sudah ada sejumlah makanan yang dianggap bisa menjadi alternatif daging, salah satunya adalah "daging" yang dirancang di laboratorium. Pada 2013, Profesor Mark Post dari Universitas Maastricht di Belanda meluncurkan burger buatan laboratorium pertama di dunia, terbuat dari sel otot sapi.

Post jadi sorotan sebab menciptakan hamburger pertama di dunia tanpa menyembelih hewan. Dia mengekstraksi sel dari otot hewan (misalnya sapi) saat hewan tersebut dibius. Sel-sel tersebut kemudian ditempatkan di piring yang berisi nutrisi dan faktor pertumbuhan yang terjadi secara alami, dan dibiarkan berkembang biak. Sel-sel ini kemudian membentuk sel otot, yang secara alami bergabung membentuk serat otot primitif dan jaringan yang dapat dimakan.

Mosa Meat juga telah menciptakan lemak yang dibudidayakan yang ditambahkan ke jaringan otot, yang rasanya diklaim seperti daging. "Teknologi baru seperti yang dikembangkan dalam pertanian seluler adalah bagian dari solusi, selain mengurangi limbah makanan dan mengubah perilaku konsumen," ujar Post.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement