REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah mencintai hamba-hamba pilihan dengan cara-Nya. Dia menanamkan cahaya hidayah di dalam relung hati sang hamba, sehingga menyinari, melenyapkan kegelapan, dan melembutkan hati. Dengan begitu hati si hamba menerima cahaya Allah dan teguh beriman kepadanya.
Begitulah Allah memberikan petunjuk kepada hamba pilihannya. Salah seorang hamba tersebut adalah yang akan kita bahas dalam tulisan ini. Namanya Tom Facchine. Lelaki itu merupakan warga New Jersey, Amerika Serikat, yang menjadi mualaf pada usia 20 tahun. Ia lahir dan dibesarkan sebagai seorang Kristen, tetapi sempat berbalik dan menjadi ateis sebelum mengenal Islam.
Mengenai perjalanan imannya, Facchine menyebut semasa kecil ia termasuk anak yang rajin dan taat beribadah. Ia membaca dan mempelajari injil sejak usia 12 tahun. Kemudian terus membaca kitab itu dalam banyak kesempatan. Namun, dia seperti tidak mendapatkan kepuasan batin. Selalu ada pertanyaan yang terbesit di hati tentang banyak hal. Apakah benar ini perkataan Tuhan, apa iya agama mengajarkan demikian, dan banyak lagi.
Ini belum termasuk pemahaman tentang Tuhan. Siapa Tuhan, dimana Dia, mengapa kita tak bisa melihat Tuhan, dan banyak lagi pertanyaan lainnya.
"Saat remaja, beberapa hal berubah karena sejumlah alasan. Aku mulai mempertanyakan keyakinan yang selama ini aku rengkuh," ujar dia dikutip dalam wawancara di akun Youtube Toward Eternity, Senin (24/7/2023).
Ada beberapa hal yang ia sebut mempengaruhi pemikirannya, seperti isu politik dan teologis. Ia merasa ada sejumlah poin dalam injil yang tidak cocok dengannya.
Facchine juga menyebut sepanjang hidupnya kala itu, ia mengerti dan memahami pembelajaran agama yang diterima dari gereja. Namun, dalam kehidupan nyata ia tidak pernah mempraktikkan hal tersebut. Entah kenapa, dia merasa, tak ada motivasi yang tumbuh di dalam hati untuk menjalankan apa yang diajarkan oleh gereja. Menurut dia, hal ini juga berlaku di sebagian besar warga Amerika lainnya.
Ia lantas memutuskan untuk meninggalkan keyakinan itu saat mengikuti kegiatan kongres pemuda gereja, yang dilakukan setiap tiga tahun sekali. Kala itu, ia terpilih sebagai perwakilan dari tempat ia beribadah.
"Biasanya setiap peserta akan menginap dan tinggal bersama dalam sebuah asrama. Menurutku, ini akan menjadi pengalaman yang menyenangkan. Tapi saat tiba di sana, apa yang aku bayangkan berbeda dengan kenyataannya," katanya.
Semula, ia mengira kegiatan di lokasi tersebut akan di-setting berdasarkan tradisi suci gereja dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Namun, kenyataannya berbeda jauh. Ia harus menelan kekecewaan karena apa yang terjadi berbeda dari bayangannya.
Ada banyak perilaku buruk yang dilakukan oleh kelompok pemuda ini. Facchine bercerita beberapa peserta ada yang menyelundupkan minuman keras, serta menjalin hubungan dengan lawan jenis yang tidak sewajarnya.
"Saat itu aku benar-benar polos. Aku kaget. (Kegiatan) Ini membuatku mulai mempertanyakan berbagai hal," kata pria yang kini menjadi imam masjid itu.
Lihat halaman berikutnya >>>